Nationalgeographic.co.id—Tangerang, menurut Kopral Johann Heinrich Schröder, adalah tempat indah dengan latar pegunungan biru, tujuh jam dari Batavia. Dia menempati bastion yang nyaman di Benteng Tangerang bersama 80 serdadu Jawa, yang menurutnya membuat dirinya bagai pangeran kecil.
Schröder merupakan pria asal Nazza, kini Thüringen di Jerman, mulai bertugas sebagai awak VOC pada 1736 hingga 1744. Dia menerima titah dari Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier untuk menempati Benteng Tangerang sekitar akhir 1739 atau awal 1740. Sebagian rutinitasnya adalah bertemu penguasa setempat, setiap minggu mengirimkan laporan kepada Gubernur Jenderal, hingga bertanggung jawab atas pasokan makanan untuk serdadu dan kuda mereka.
Semua berjalan baik hingga awal Oktober 1740. Schröder bersaksi atas suara dentuman meriam yang dilancarkan oleh orang-orang Cina di Tangerang. Mereka mengepung dan menyerang dari luar gerbang, namun berhasil dipukul mundur. Schröder berkuda menuju kecamuk kerusuhan, namun pada akhirnya kembali lagi ketika dia menyadari bahwa dia pun harus mempertahankan posisinya sendiri. Sementara itu orang-orang Cina telah berhasil menguasai salah satu pos jaga dan merebut pabrik mesiu. Schröder mengisahkan bahwa api telah berkobar-kobar di Tangerang.
Baca Juga : Kartini dan Kegembiraan yang Meluap Akan Pendidikan
Pemberontak Cina telah menyebar hingga ke kawasan sekitar dua belas jam dari Batavia. Mereka menyerang menggunakan tombak dan mengucapkan teriakan kebiadaban. Benteng VOC dibawah komando Schröder menembakkan meriam dengan kekuatan penuh sehingga membuyarkan para pemberontak dan meninggalkan mereka bergelimpangan di tanah.
Kendati orang-orang Cina jauh lebih banyak, demikian kisah Schröder, VOC memiliki keunggulan dalam jumlah persenjataaan. Selain itu, VOC menggunakan serdadu asli dari Jawa, Bugis, Bali, dan, Madura.
Schröder menyaksikan bahwa orang-orang Cina membuat meriam yang terbuat dari pohon kelapa yang diperkuat dengan cincin besi. Namun, mereka hanya bisa menembakkan beberapa kali sebelum menjadi tidak berguna, ungkapnya.
Benteng VOC dibawah komando Schröder menembakkan meriam dengan kekuatan penuh sehingga membuyarkan para pemberontak dan meninggalkan mereka bergelimpangan di tanah.
Serangan di Batavia terjadi Minggu, 9 Oktober 1740, demikian ungkap Schröder . Keesokan paginya tampak semua rumah orang Cina di dalam tembok kota Batavia hangus terbakar. Mayat-mayat orang Cina bertaburan di jalanan, parit dan kanal. Mereka tewas dengan segala macam cara, hingga bunuh diri. Pada Selasa, 11 Oktober, sementara mayat-mayat itu mulai dibersihkan, orang-orang mulai merajalela untuk menjarah sisa-sisa barang yang tertinggal di rumah orang-orang Cina.
Begitu juga nasib rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong, yang menurut Schröder, kapitan itu bersekutu dengan para pemberontak dengan cara menyembunyikan mesiu di kediamannya.
Gustaaf Willem Baron von Imhoff, yang saat itu menjabat sebagai Dewan Hindia, turut memerangi pemberontak di pinggiran Batavia, baik siang maupun malam.Schröder juga mengungkapkan bahwa Imhoff juga menyediakan ternaknya untuk disembelih dan memasok anggur untuk mencukupi kebutuhan logistik serdadunya. Kelak, dia mengelak keterlibatan dalam pembantaian itu, dan menggantikan Valckeneir sebagai Gubernur Jenderal VOC.
Salah satu sebabnya, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka. Alasannya, di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas. Sebab lainnya, VOC menganggap komunitas Cina mulai mendominasi perekonomian dengan menjamurnya pengolahan gula tebu di pinggiran Batavia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR