“Menyanting itu mirip dengan mengarsir gambar. Kegiatan ini membuat saya fokus sampai lupa dengan waktu.” Nunu sudah membayangkan membatik sebagai kegiatan yang akan ia lakukan untuk mengisi masa pensiunnya. Inilah yang membuat dia semangat mengembangkan kerja kelompok batiknya.
Tahun pertama kelompok batik yang terletak di RT5/RW1 tidak semulus seperti yang tampak saat ini. Tim awal berlima sempat menyusut menjadi tiga orang lantaran tidak ada pemasukan sama sekali. Sekarang sudah ada 18 orang dengan honor per bulan sekitar Rp500.000 – Rp1.000.000 untuk 36 jam per 6 hari kerja.
Pada awalnya kelompok batik ini hanya untuk ibu-ibu dari Kelurahan Ngelo saja. Namun kini sudah menaungi dua pembatik asal kelurahan sebelah, Karangboyo. Dengan pasar mencakup seluruh Indonesia, omzet Batik Pratiwi Krajan saat ini mencapai sekitar 20 juta per bulan.
Pemasaran batiknya dilakukan secara langsung di lokasi maupun via media sosial, seperti WhatsApp, akun Instagram dan akun personal Facebook. Meski demikian Nunu mengaku belum optimal dalam memasarkan batiknya secara digital melalui media sosial ataupun market place.
Perkembangan pesat usaha Batik Pratiwi Krajan ini tidak lepas dari program CSR oleh PT Pertamina EP (PEP) Asset 4 Field, Cepu. Sejak 2014 PEP sudah melihat potensi Batik Pratiwi Krajan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar. Sebagai apresiasi, PEP memberikan bantuan dari hulu ke hilir, mulai dari teknik membatik, penyediaan alat membatik, sampai pelatihan pemasarannya.
Selain aktif dan peduli terhadap lingkungan, sosok Nunu pun lekat dengan siswa-siswi SD Negeri 3 Karangboyo. Mengajar batik menjadi rutinitas setiap Sabtu bagi Nunu. “Saya senang mengajar adik-adik, karena batik merupakan warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan. Selain mengajar di sekolah, Batik Pratiwi Krajan juga terbuka untuk kunjungan, seperti Maret lalu TK Tunas Rimba 1 datang ke rumah produksi,” terangnya.
Baca Juga : Sekolah Mangrove di Pesisir Indramayu, dan Masa Depan Ekonomi Indramayu
Tidak hanya mengajar siswa-siswi, ternyata kelompok batik yang berada di klaster Blora banyak yang “berguru” kepada Nunu dan kelompok Batik Pratiwi Krajan. “Di sini kami saling sharing ilmu dan bantu dengan yang di desa lain, seperti Sumber, Wado, dan Nglebur,” tambahnya.
Tidak hanya peduli dengan keberlangsungan produksi batiknya, Nunu juga memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitar. Beberapa tahun belakangan ini Nunu sudah menggunakan pewarnaan alam yang lebih ramah lingkungan. Ia menggunakan bahan-bahan dari sekitar, seperti secang, mahoni, dan jati.
Batik Pratiwi Krajan juga sudah menerapkan instalasi pengelolaan limbah. Meskipun masih sederhana, tetapi terbukti upayanya ini telah berhasil menurunkan tingkat pencemaran limbah batik berdasarkan hasil uji air limbah di Balai Laboratorium kesehatan dan Pengujian Alat Kesehatan Semarang.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR