Nationalgeographic.co.id— “Kerajaan kecil Pekat dan Tambora terhapus dari muka bumi,” ungkap Philippus Pieter Roorda van Eysinga, “hanya tiga atau empat orang saja yang selamat dari kehancuran dan mereka itulah yang menyampaikan ceritera ini...”
Roorda merupakan pensiunan serdadu yang pernah bertempur di Waterloo dalam Perang Napoleon pada 1815.
Di masa mudanya dia belajar dasar-dasar bahasa Latin dan Yunani dari ayahnya, dan belajar bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman dalam pendidikan formal. Ia memasuki dinas dan pertama kali bertugas sebagai Fourier, kemudian sebagai letnan dua di batalyon infanteri ke-18 yang berpartisipasi dalam Pertempuran Waterloo pada 18 Juni 1815. Artinya, tatkala Tambora menggelegar dahsyat pada April 1815, Roorda tengah berada di medan pertempuran Perang Napoleon, menuju Waterloo. Barangkali dia pun tak ambil pusing apa yang terjadi di Hindia Belanda pada saat yang sama.
Baca Juga : Hikayat Rumah Perdesaan Milik Petinggi VOC di Palmerah
Setelah Perang Napoleon usai, dia dianugerahi pangkat letnan satu dalam milisi batalion ke-20. Saat itu usianya 21 tahun. Pada 1819, lelaki itu pensiun dari dinas militer, dan berniat melawat ke Hindia Belanda. Tidak lama kemudian dia memutuskan untuk bergabung dengan dinas Hindia Timur, berangkat pada 18 Juni 1819 dengan korvet megahnya Galathea. Roorda tiba di Batavia pada 8 November pada tahun yang sama.
Dia memelajari bahasa Melayu dan menggubah kamusnya. Kelak, Roorda menyandang gelar guru besar dalam bidang bahasa dan etnografi. Dia kembali ke kampung halamannya, Kuinre di Belanda, pada 1834.
Tatkala di Hindia Belanda, Roorda mendapatkan naskah yang ditulis dengan aksara Arab dari Abdul Wahab, seorang asal Makassar. Naskah itu berkisah tentang amukan Tambora.
Alkisah, seorang pedagang asal Bengkulu yang keturunan Arab, singgah ke Kesultanan Tambora. Tiba di sebuah masjid, dia menghardik dan mengusir seekor anjing yang memasuki bangunan suci itu. Dia menyuruh si penjaga masjid untuk memukul anjing tersebut.
Tatkala Tambora menggelegar dahsyat pada April 1815, Roorda tengah berada dalam kecamuk Perang Napoleon. Barangkali dia pun tak ambil pusing apa yang terjadi di Hindia Belanda pada saat yang sama.
Namun, si penjaga justru marah dan berkilah bahwa anjing tersebut milik sang raja. Mendengar jawaban tersebut, si pedagang pun mencela bahwa Sang Raja Tambora adalah seorang kafir. Celaan itu akhirnya sampai ke telinga Sang Raja, yang membuatnya murka.
Sang Raja mengundang pedagang itu untuk menjebaknya dalam siasat santap bersama. Jebakan itu adalah, hidangan daging anjing untuk pihak si pedagang dan hidangan daging kambing untuk pihak Sang Raja. Usai bersantap, si pedagang merasa dijebak. Meski demikian, dia tetap membantah telah menyantapnya. Sang Raja pun berdalih, membantah perkataannya berarti mati. Para prajurit segera meringkus si pedagang dan menggiringnya ke puncak Tambora. Sang pedagang pun tewas dibunuh.
Tatkala para prajurit tengah menuruni pinggang Tambora, gunung tersebut menggelegak dan menggelegar dahsyat. Inilah murka dan azab Tuhan kepada Kerajaan Tambora, demikian ungkap naskah tersebut.
Roorda mengisahkan isi naskah tersebut dalam empat halaman pada jilid kedua dari bukunya, Handboek der land- en volkendunde, gescheid-, taal-, aardrijks- en staatkunde van Nederlandsch-Indie. Buku itu terbit beberapa jilid antara 1841-1850 di Amsterdam
“...Tambora pun menyala. Sampai berapa-berapa hari menyala api digunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu... berapa-berapa ribu orang mati terbakar itu.”
Naskah itu juga menerakan tenggelamnya Kerajaan Tambora oleh tsunami air laut. Seluruh hamparan tanah Sumbawa bertabur hujan abu, semua ternak binasa. Selama tiga tahun warga tidak bisa menanam padi, sepuluh ribu orang turut menjadi korbannya, demikian kisah naskah tersebut.
“Sama saktinya dengan kisah pembinasaan Kota Niniwe dan Yerusalem di kalangan orang Kristen.”
Sementara di Makassar dan Bugis—asal naskah—terjadi gelap gulita selama sehari semalam karena hujan abu. Naskah juga melukiskan bencana tsunami yang melanda Makassar kala Tambora bergelora. “Datang air besar dari tiga ombak besar, dari selatan datangnya itu ombak, maka tujuh negeri kecil tenggelam, perahu dagang yang ada berlabuh di situ semuanya dibawa ombak naik di hutan.”
Baca Juga : Dipanagara, Sebuah Nama Pembawa Sial?
Letusan Tambora telah memangkas tinggi gunung tersebut menjadi 2.851 meter, yang awalnya hampir 4.000 meter. Kedahsyatan letusannya merupakan salah satu yang terbesar selama 75.000 tahun terakhir. Dampaknya, terjadi tahun tanpa musim panas di Eropa pada 1816.
Betapa peristiwa gelegar dentuman Tambora itu sungguh menggentarkan. Roorda mengibaratkan ‘bencana kutukan’ yang mendera Tambora “sama saktinya dengan kisah pembinasaan Kota Niniwe dan Yerusalem di kalangan orang Kristen.”
Kisah tentang Roorda ini dinukil biografinya dalam Biographisch woordenboek der Nederlanden. Deel 16 yang disusun oleh A.J. van der Aa, terbit pada 1874. Untuk sisi naskah, kisah ini bersumber dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah karya Henri Chambert-Loir, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia dan École française d'Extrême-Orient, terbit 2004.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR