Nationalgeographic.co.id – Ada banyak pembunuhan massal di dunia yang disebabkan oleh alasan-alasan aneh. Termasuk yang terjadi di Alaska ini: legenda mengatakan bahwa pembantaian di sana disebabkan oleh permainan anak panah.
Para arkeolog dari University of Aberdeen yang melakukan penggalian di kota Agaligmiut, berhasil mengungkap situs pembantaian massal berusia 350 tahun. Situs tersebut berkaitan dengan serangkaian konflik di Alaska pada abad ke-17–terkenal dengan insiden “mencungkil mata”.
Dari hasil penggalian, ditemukan 28 kerangka yang kemungkinan meninggal saat pembantaian. Selain itu, terungkap juga 60 ribu artefak, termasuk patung, topeng kayu, dan boneka.
Baca Juga : Manusia Purba Kerap Memburu Monyet dan Menjadikan Tulangnya Sebagai Senjata
Kisah di balik kematian massal tersebut cukup unik. Menurut The Bow and Arrow War Days on the Yukon-Kuskokwim Delta of Alaska karya Caroline L. Funk, itu bermula ketika seorang pria sedang bekerja di sebuah kapal di rumah pria lainnya, sementara kedua anak laki-laki mereka asyik bermain anak panah.
Tak diduga, salah satu anak melempar panah tersebut ke lawan mainnya hingga membuat “bola matanya keluar”. Untuk membalas kesalahan anaknya, ayah pelaku memperbolehkan ayah korban untuk mencabut bola mata buah hatinya yang sudah melempar panah. Sebuah aksi yang menggambarkan istilah “mata dibayar mata”.
Ayah korban pun setuju dengan permintaan tersebut. Namun, bukannya mencabut satu, ia justru mencungkil kedua bola mata si anak. Melihat hal tersebut, ayah pelaku pun marah besar karena temannya itu melanggar kesepakatan. Mereka kemudian saling menyerang dan mencabut bola mata masing-masing.
Selanjutnya, pertengkaran menyebar dan keluarga ikut terlibat. Kerabat dari kedua belah pihak saling menyerang dengan mencungkil kedua bola mata.
Dari keluarga, kini satu desa juga ikut terlibat dalam ‘perang’ tersebut. Mereka benar-benar terjebak dalam kekerasan mengerikan yang bermula dari permainan anak-anak.
Berdasarkan laporan, saat pembantaian berlangsung, seorang pria terlihat merangkak untuk menjauhi desa dengan lubang besar di perut dan usus terburai.
Saking mengerikannya, seorang wanita dari desa sebelah mengaku menyaksikan kabut yang naik akibat uap dan darah penduduk desa.
Perkelahian dahsyat itu kemudian dikenal dengan julukan “perang busur dan panah” pada 1600-an.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR