Nationalgeographic.co.id – Apa yang terjadi pada hari ini, 21 Mei 1998 di Indonesia? Mari kita buka kembali lembaran sejarah yang amat penting dalam perjalanan bangsa ini.
Pada 21 tahun silam, Indonesia melewati salah satu tonggak sejarah yang tak bisa dilepaskan begitu saja dalam perjalanannya sebagai negara dan bangsa.
Para tokoh bangsa dan mahasiswa (saat itu), masih mengingatnya dengan jelas. Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998 Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai setelah berkuasa selama 32 tahun.
Soeharto menduduki jabatan kepala negara terhitung sejak dia mendapat "mandat" Surat Perintah 11 Maret 1966.
Baca Juga: Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi
Pidato pengunduran diri Soeharto dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah ini dia ambil setelah melihat "perkembangan situasi nasional" saat itu.
Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnya Soeharto.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto, dilansir dari buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie.
Dengan pengunduran diri ini, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Baca Juga: Patahnya Palu Sidang dan Firasat Harmoko Mengenai Kejatuhan Soeharto
"Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003," ucap Soeharto.
Perjuangan mahasiswa
Gerakan reformasi merupakan penyebab utama yang menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya.
Aksi demonstrasi ini mulai terjadi sejak Soeharto menyatakan bersedia untuk dipilih kembali sebagai presiden setelah Golkar memenangkan Pemilu 1997.
Situasi politik saat itu memang penuh dinamika, terutama setelah terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996 di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Baca Juga: Tetap Waspada, Cacar Monyet Memang Belum Ditemukan di Indonesia. Ketahui Cara Menghindarinya
Pemerintah dinilai menjadi penyebab terjadinya Peristiwa Sabtu Kelabu karena mencopot Megawati Soekarnoputri dari jabatan Ketua Umum PDI sehingga menimbulkan dualisme partai.
Popularitas Megawati yang meroket ketika itu, juga statusnya sebagai anak Presiden Soekarno, memang menjadi ancaman bagi kekuasaan.
Apalagi, Megawati menjadi pimpinan partai menjelang Pemilu 1997.
Tidak hanya itu, pasca-Peristiwa 27 Juli 1996, timbul serangkaian peristiwa hilangnya aktivis demokrasi dan mahasiswa yang dianggap melawan pemerintahan Soeharto.
Sejak saat itu, perlawanan terhadap Soeharto semakin terlihat.
Aksi mahasiswa yang semula dilakukan di dalam kampus, kemudian dilakukan di luar kampus pada Maret 1998.
Mahasiswa semakin berani berdemonstrasi setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Jika awalnya mahasiswa menuntut perbaikan ekonomi, setelah Soeharto terpilih tuntutan pun berubah menjadi pergantian kepemimpinan nasional.
Sayangnya, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam mengatasi aksi mahasiswa mengubah aksi damai menjadi tragedi.
Dilansir dari dokumentasi Kompas, aksi mahasiswa di Yogyakarta yang ditangani secara represif oleh aparat keamanan pada 8 Mei 1998 menyebabkan tewasnya Moses Gatutkaca.
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma itu meninggal akibat pukulan benda tumpul. Tragedi kembali terjadi saat aparat mengatasi demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan pada 12 Mei 1998.
Baca Juga: Memanfaatkan Zona Demiliterisasi Korea Menjadi Pusat Seni dan Wisata
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat ditembak peluru tajam milik aparat keamanan.
Aksi penembakan peluru karet dan peluru tajam serta pemukulan oleh aparat keamanan juga menyebabkan lebih dari 200 orang terluka.
Sehari kemudian, pada 13-15 Mei 1998, terjadi sebuah kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar.
Hingga saat ini belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 itu.
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto.
Akan tetapi, tragedi dan kerusuhan tidak menghentikan mahasiswa untuk terus bergerak.
Baca Juga: Peluru Nyasar di Gedung DPR, Bagaimana Mekanisme Keluarnya Peluru dari Senjata Api?
Pada 18 Mei 1998, aksi mahasiswa dalam jumlah akbar berhasil menguasai gedung DPR/MPR.
Saat itulah, posisi Soeharto semakin terpojok.
Sebab, pada hari itu juga pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Namun, Soeharto berusaha melakukan perlawanan.
Salah satunya adalah dengan menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya.
Soeharto pun menawarkan sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung.
Baca Juga: Apa Saja yang Akan Terjadi Jika Manusia Tinggal di Mars? Berikut di Antaranya
Namun, sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 itu menolak.
Menurut Nurcholis, dilansir dari Kompas, ide Komite Reformasi itu sendiri berasal dari Presiden Soeharto.
Nurcholis membantah bahwa ada tokoh yang mengusulkan itu saat bertemu Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Penolakan juga disampaikan sejumlah tokoh yang tidak menghadiri pertemuan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah PP Amien Rais misalnya, yang mempermasalah mengenai ketidakjelasan kapan pemilu itu akan dilakukan.
Menurut Amien Rais dan sejumlah tokoh, Komite Reformasi merupakan cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.
Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle.
Bahkan, dalam pernyataan tertulis yang disusun di Gedung Bappenas pada 20 Mei 1998, 14 menteri itu secara implisit meminta Soeharto untuk mundur.
Soeharto sadar posisinya semakin lemah. Kegalauan Jenderal yang Tersenyum itu mencapai puncaknya pada Rabu malam itu, 20 Mei 1998.
Atas sejumlah pertimbangan, dia pun memutuskan untuk mundur esok harinya, 21 Mei 1998. Dan begitulah kisah Soeharto di akhir kekuasaannya. (Bayu Galih)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...")
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | KOMPAS/EDDY HASBY |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR