Foto-foto awal, serta temuan arkeologi menunjukkan perkembangan desa menjadi kombinasi yang luar biasa dari pemukiman tradisional Maori dan Inggris.
Hal itu juga mengakibatkan pencampuran ciri-ciri arsitektural dari dua kebudayaan.
Sebelum letusan pada 1886 terjadi, pada 1852 di desa ini didirikan sebuah sekolahan.
Selain itu, Pendeta Spencer, misionaris Kristen juga memperkenalkan gandum ke lembah Te Wairoa dan penggilingan tepung didirikan di samping Aliran Te Wairoa pada tahun 1857.
Baca Juga: Siapakah Lelaki Eropa Pertama yang Mendaki Puncak Gunung Gede?
Gereja Te Mu juga didirikan dan selesai pada 1862.
Dari 1865 hingga 1870, banyak sengketa tanah antara Maori terjadi.
Akibatnya, Maori lokal mundur kembali ke Kariri Point dan Spencer meninggalkan Te Wairoa pada tahun 1870 untuk bersama keluarganya.
Pada 1886, Te Wairoa sudah menjadi objek wisata yang populer dengan hotel-hotel dan jalan-jalan yang mengarah pada sebuah wisata alam yang indah.
Namun, pada tengah malam tanggal 10 Juni, rakyat Te Wairoa dibangunkan oleh serangkaian gempa bumi kecil.
Tak selesai di situ, gempa bumi yang jauh lebih besar juga mengikuti dengan akhirnya ledakan besar-besaran.
Baca Juga: Gunung Agung Kembali Meletus, NASA Anggap Letusan Gunung Agung Sebagai Kabar Bahagia
Penulis | : | Buried Village |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR