Awal kemunculannya, adalah pengaruh masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, di mana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.
Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta.
Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.
Baca Juga: Siapakah Camazotz, Dewa Mirip Batman yang Disembah oleh Suku Maya?
Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisan budaya.
Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.
Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan Gajang Laleng Dipa.
Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.
Baca Juga: Suku Maya Kerap Gunakan Kepala Manusia Sebagai Tempat Membakar Dupa
Source | : | Intisari.grid.id |
Penulis | : | Kaskus |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR