Nationalgeographic.co.id - Kami tengah duduk di atas jalan papan kayu, berhadapan dengan dua orang tokoh pemuda yang terpanggil untuk meneruskan tradisi turun termurun masyarakat Asmat. Martinus Pipir, seorang guru yang juga menjadi tokoh adat setempat. Pria berusia 30-an tahun ini memiliki tubuh tinggi kekar seperti binaragawan. Pemuda kedua, Petrus Kaimers yang berusia tidak terpaut jauh dengan Martinus.
“Saya ini jadi ketua lembaga adat di kampung Bayiw Pinam Distrik Akat, dengan adik saya ini (Petrus),” ucap Martinus membuka percakapan kami saat itu. “Banyak orang luar tidak paham kami punya adat, kami tidak ada budaya merantau, tetap budaya asli kami jaga kampung ini.”
Berbagai topik pun kami perbincangkan pagi itu, mulai dari pesta adat, rumah Jew, agama kuno dan pantangan-pantangan yang ada, serta hal-hal lain terkait dengan tradisi masyarakat Asmat.
Baca Juga: Pelukis Affandi Koesoema dan Takdirnya dalam Naungan Daun Pisang
Perbincangan kami berawal dari pertanyaan mengenai Jew, rumah adat di sana. "Ini (Jew) melambangkan tubuh kita, semua ini memiliki arti. Ini guna bagi budaya ini," jawab tokoh adat ini dengan raut wajah yang seketika berubah. Kami pun merasa bahwa kami harus meminta maaf, karena mungkin pertanyaan ini tidak pantas untuk diucapkan.
Pertanyaan yang kami lontarkan mungkin terkesan biasa saja, tetapi bagi masyarakat di sana. Pertanyaan terkait Jew bisa saja menyinggung.
“Jew ini tidak pernah kosong, siang dan malam jaga ketat. Kami siaga kalau ada musuh serang kami punya kampung. Tradisi musyawarah mufakat adalah melekat pada diri masyarakat Asmat di dalam Jew,” jawab Martinus melengkapi jawaban sebelumnya.
“Tidak boleh ada anak muda di dalamnya (tidak boleh ada orang yang belum berkeluarga saat membahas hal ini), dia harus ikut dengar yang melambangkan umat kita,” ungkap Petrus menambahkan, dan menjelaskan mengapa raut wajah mereka sempat berubah.
Tidak ingin berlarut menyinggung, kami pun melanjutkan pembicaraan mengenai pesta adat. Pesta yang diawali dengan undangan kepada kampung lain. Sekilas terdengar biasa saja. Undangan disampaikan dengan daun sagu yang dibentuk dengan pola tertentu. Jumlah lembar daun menandakan jumlah hari pelaksanaan pesta. Warga di kampung lain tinggal menghitung jumlah lembar daun yang diterima, jika tiga lembar, berarti pesta akan dilaksanakan pada tiga hari sejak undangan tersebut diberikan.
“Dulu ada beberapa pesta yang rutin, tapi sekarang kita anak muda hanya pesta olah sagu. Pesta roh itu sudah tidak dilakukan lagi di sini,” jawab Martinus. Selanjutnya Martinus dan Petrus menambahkan bahwa masyarakat Asmat juga memiliki beberapa pesta adat, seperti pesta perahu, pesta salawako (perisai), dan pesta peresmian Jew.
Pelaksanaan pesta adat tidak memiliki jadwal pasti. Tidak setiap tahun diadakan, bahkan bisa saja tiga hingga lima tahun sekali. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari Martinus, pesta adat hanya diadakan bila ada kesepakatan yang terjadi di dalam Jew.
Terkait pesta adat, bila dilakukan di dalam Jew, hal ini berarti mereka sangat menghargai para tamu. Dengan mempersilakan tamu masuk ke dalam Jew, mereka mempersilakan tamu duduk di atas leluhur mereka.
Budaya dan pendidikan
Pada suatu ketika, perbincangan kami pun masuk ke dalam konteks pendidikan. Martinus menjelaskan bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan di sana. Tidak terbatas pada pendidikan formal, tapi juga nonformal seperti seni.
Walaupun berbagai materi pendidikan diberikan di sana, tetapi kedua tokoh ini tetap mempertahankan kearifan lokal dan berbagai kepercayaan yang sudah mereka pegang sejak lama.
“Kita tidak boleh makan yang haram, yang sudah di larang. Kalau kita makan, nanti kita punya otak kurang. Itu berlaku untuk semua orang Asmat yang khusus punya lagu-lagu adat. Termasuk juga udang, itu kepala, orang tidak boleh makan,” ucap Martinus.
Hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak falsafah kuno yang dijelaskan kepada kami. Hal yang mengagumkan bahwa mereka dapat mengingat dan menjalankan kesemuaya itu dengan baik.
“Kami ingat saja, karena kalau tidak diikuti itu pamali dan akan kena sanksi dari alam. Kalau tidak kami yang kena, istri kami yang kena, anak atau keluarga yang kami sayangi yang akan kena,” ucap Petrus. Alam, atas dasar inilah mereka sangat menjaga kehidupan di sana. Keharmonisan hidup masyarakat dengan alam bagaikan harmonisasi nada-nada dalam lagu.
Hal inilah yang mungkin membuat mereka menuangkannya dalam berbagai lagu yang mereka punya. “Lagu kami banyak, lagu itu tidak sama. Ketukan tifa (alat musik pukul) itu ada beda-beda. Ada untuk siang, ada untuk malam. Malam itu memang dari sore sampai pagi. Pagi lanjut sampai sore. Kalau sudah mulai, lanjut terus. Itu tidak bisa batalkan,” ucap Martinus.
“Ada kelompok, mereka ikuti saya punya ketukan saja. Semua anggota masing-masing pegang tifa dan menyanyi. Lagu juga begitu, saya angkat dulu baru semua anggota ikuti. Karena tidak bisa semua orang tentukan urutan. Harus guru yang angkat lebih dulu.”
Mereka juga memiliki berbagai lagu yang mereka gunakan sebagai doa. Tujuannya adalah sebagai wujud syukur kepada alam. Kesemuanya ini dimulai dengan tabuhan tifa, alat musik pukul yang memiliki nilai sakral bagi masyarakat Asmat. Konon, bahan perekat kulit tifa adalah darah manusia yang dicampur dengan kapur.
Perbincangan kami rupanya cukup menguras energi, rasa lapar pun datang. Mungkin karena inilah kami kemudian membahas mengenai bahan pangan di sana. Mereka mengonsumsi sagu, ikan, ulat sagu, ulat besar, ulat kayu, udang, karaka, daging babi, kasuari, dan burung. Menakjubkannya, kesemuanya itu didapatkan langsung dengan perburuan.
“Kami makmur hidupnya, kami bahagia, karena kami hidup seimbang dan selaras dengan alam. Masyarakat Asmat itu menghargai alam sebagai saudara kami sendiri. Kami biasa masih ke hutan, cari sagu, buru babi, kami pulang ke kampung untuk tokok sagu”, ucap Petrus dengan penuh semangat.
Dari berbagai hal yang diceritakan, memang jelas terlihat bahwa masyarakat Asmat hidup sangat dekat–tidak hanya lokasinya–dengan alam. Meski begitu, bukan berarti masyarakat Asmat tidak bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan modern.
Baca Juga: Hara Hachi Bu, Kebiasaan Warga Okinawa Kendalikan Nafsu Makan Agar Panjang Umur
Sekolah, obat-obatan, dan beberapa fasilitas kesehatan juga bersentuhan dengan mereka. Menurut Martinus, hal-hal seperti ini tidak merusak budaya dan nilai-nilai hidup mereka.
“Selain obat di puskesmas, kami dari leluhur sudah punya obat alam. Walau ada puskesmas, Itu hanya pelengkap saja.”
Berbagai cerita hari itu membuat kami tidak menyadari bahwa Matahari sudah melangkah ke barat. Kami pun harus menyudahi pertemuan kami hari itu, dan kembali ke tempat kami bermalam.
Malam itu, kami tidak mendengar suara pukulan tifa di Kampung Bayiw Pinam. Tidak juga terdengar lagu-lagu adat yang dinyanyikan. Hanya suara katak pohon yang saling bersahutan, dan suara desiran angin malam yang berbisik lembut pada daun-daun di pepohonan tua yang rindang.
Di kampung yang belum dialiri listrik ini, hanya sinar bulan purnama yang menjadi penerang kami malam itu.
Penulis: Agung Yoga Asmoro
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR