Budaya dan pendidikan
Pada suatu ketika, perbincangan kami pun masuk ke dalam konteks pendidikan. Martinus menjelaskan bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan di sana. Tidak terbatas pada pendidikan formal, tapi juga nonformal seperti seni.
Walaupun berbagai materi pendidikan diberikan di sana, tetapi kedua tokoh ini tetap mempertahankan kearifan lokal dan berbagai kepercayaan yang sudah mereka pegang sejak lama.
“Kita tidak boleh makan yang haram, yang sudah di larang. Kalau kita makan, nanti kita punya otak kurang. Itu berlaku untuk semua orang Asmat yang khusus punya lagu-lagu adat. Termasuk juga udang, itu kepala, orang tidak boleh makan,” ucap Martinus.
Hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak falsafah kuno yang dijelaskan kepada kami. Hal yang mengagumkan bahwa mereka dapat mengingat dan menjalankan kesemuaya itu dengan baik.
“Kami ingat saja, karena kalau tidak diikuti itu pamali dan akan kena sanksi dari alam. Kalau tidak kami yang kena, istri kami yang kena, anak atau keluarga yang kami sayangi yang akan kena,” ucap Petrus. Alam, atas dasar inilah mereka sangat menjaga kehidupan di sana. Keharmonisan hidup masyarakat dengan alam bagaikan harmonisasi nada-nada dalam lagu.
Hal inilah yang mungkin membuat mereka menuangkannya dalam berbagai lagu yang mereka punya. “Lagu kami banyak, lagu itu tidak sama. Ketukan tifa (alat musik pukul) itu ada beda-beda. Ada untuk siang, ada untuk malam. Malam itu memang dari sore sampai pagi. Pagi lanjut sampai sore. Kalau sudah mulai, lanjut terus. Itu tidak bisa batalkan,” ucap Martinus.
“Ada kelompok, mereka ikuti saya punya ketukan saja. Semua anggota masing-masing pegang tifa dan menyanyi. Lagu juga begitu, saya angkat dulu baru semua anggota ikuti. Karena tidak bisa semua orang tentukan urutan. Harus guru yang angkat lebih dulu.”
Mereka juga memiliki berbagai lagu yang mereka gunakan sebagai doa. Tujuannya adalah sebagai wujud syukur kepada alam. Kesemuanya ini dimulai dengan tabuhan tifa, alat musik pukul yang memiliki nilai sakral bagi masyarakat Asmat. Konon, bahan perekat kulit tifa adalah darah manusia yang dicampur dengan kapur.
Perbincangan kami rupanya cukup menguras energi, rasa lapar pun datang. Mungkin karena inilah kami kemudian membahas mengenai bahan pangan di sana. Mereka mengonsumsi sagu, ikan, ulat sagu, ulat besar, ulat kayu, udang, karaka, daging babi, kasuari, dan burung. Menakjubkannya, kesemuanya itu didapatkan langsung dengan perburuan.
“Kami makmur hidupnya, kami bahagia, karena kami hidup seimbang dan selaras dengan alam. Masyarakat Asmat itu menghargai alam sebagai saudara kami sendiri. Kami biasa masih ke hutan, cari sagu, buru babi, kami pulang ke kampung untuk tokok sagu”, ucap Petrus dengan penuh semangat.
Dari berbagai hal yang diceritakan, memang jelas terlihat bahwa masyarakat Asmat hidup sangat dekat–tidak hanya lokasinya–dengan alam. Meski begitu, bukan berarti masyarakat Asmat tidak bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan modern.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR