3. Laskar Dipanagara yang Pemadat
Candu secara luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk menyembuhkan aneka penyakit. Ketika perasaan anti-Cina pada bulan-bulan awal peperangan sedikit mereda, orang Cina mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis belakang. Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Dipanagara jatuh sakit karena ketagihan madat. Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Dipanagara dan dibawa ke Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa. Dia mengungkapkan, “Para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara mereka menjadi budak madat.”
4. Sisi Feminim Sang Pangeran
Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya. Dipanagara mengungkapkan hal tersebut kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira asal Jerman yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado. Bisa jadi sisi psikologis ini dipengaruhi oleh banyak wanita yang pernah mengasuh dan membesarkannya.
Jelang perayaan tahun baru 1829 di Nanggulan, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton serdadu Hindia Belanda Timur. Dalam pertempuran tidak seimbang itu Kapten Hermanus Volkers van Ingen dan anjing irish-red-setter kesayangannya tewas di tangan Laskar Dipanagara. Kini, makam keduanya masih di jumpai di Nanggulan, barat Sungai Progo. Prasasti yang menerangkan keduanya sudah sulit terbaca, sehingga warga sekitar menganggap bahwa makam di samping sang kapten itu adalah kuda tungganggannya.
Baca juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
6. Sistem Stelsel Benteng
Sejak Mei 1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya: Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara. Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 dibangun 258 benteng—area padat ada di Mataram. Dalam strategi ini disusun pula delapan pasukan gerak cepat berdasar area; jelang akhir perang menjadi empat belas. Arsitek benteng medan adalah Kolonel Frans David Cochius. Pasca perang, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah.
Baca juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting
7. Organisasi Militer ala Turki versus Belanda
Laskar Dipanagara, dengan organisasi ala Turki-Usmani: Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang. Hierarki kepangkatan juga beraksen Turki: alibasah setara komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kalinya dalam militer Jawa dikenal kepangkatan. Seperti Dipanagara, para laskarnya juga berserban dan mencukur habis rambutnya—gundul.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR