Nationalgeographic.co.id— “Perang Jawa itu sudah disiapkan selama 12 tahun,” ujar Saleh As’ad Djamhari, sejarawan dan pemerhati militer. “Dipanagara telah melakukan konspirasi dalam senyap dengan sabar, tertutup, dan rahasia.” Sang pangeran itu membentuk jaringan dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun kekuatan. Lewat dana sokongan dari para bangsawan dan perampasan konvoi logistik Belanda, dia menyiapkan pabrik mesiu di pinggiran Yogyakarta dan membeli bedil locok berpicu—mungkin buatan Prusia.
Peter Brian Ramsay Carey, salah satu sejarawan sohor asal Inggris Raya, mengatakan bahwa tahun-tahun awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Laskar Dipanagara menyerukan kebencian kepada orang-orang Cina, bahkan membantai mereka. Namun, akhirnya orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti balik ke semula,” ujar Carey. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!
Perang Jawa menjadi sejarah besar bukan sekadar biaya dan korbannya yang berjumlah fantastis, melainkan juga aspek politik-militer yang melingkupinya: Problema kedaulatan, keinginan Dipanagara membentuk negara Islam, dan organisasi militer modern yang digunakan kedua pihak yang berseteru.
Baca juga: Kegelisahan Pecinan Semarang Ketika Menghadapi Geger Dipanagara
Inilah perang lima tahun (20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830) yang membuat Belanda nyaris membinasakan dan melenyapkan Keraton Yogyakarta. Simak sepuluh fakta berikut—yang mungkin sudah dilupakan orang—di balik kecamuk sengit Perang Jawa:
1. Dipanagara Bukan Nama Orang
“Dipanagara” merupakan gelar kebangsawanan yang digunakan di keraton Jawa tengah bagian selatan. Sebelum sang penggelora Perang Jawa yang bernama Dipanagara, tercatat dua orang yang menggunakan gelar tersebut. Ratu Bendara, seorang putri Sultan Mangkubumi, pernah menikah dengan seorang bangsawan Surakarta bernama Pangeran Dipanagara. Pangeran ini wafat pada 1787 dan dikebumikan di Kuncen, Yogyakarta. Jauh sebelumnya, pada awal abad ke-18, seorang dari putra Pakubuwana I turut memberontak pada Perang Suksesi Jawa Kedua. Nama bangsawan pemberontak itu adalah Dipanagara, dan dalam Babad Tanah Jawi mengambil gelar “Erucakra” juga. Dia dilaporkan “menghilang” di Lumajang pada 1723.
Namun demikian, sesudah Perang Jawa, gelar Dipanagara tidak digunakan lagi di kalangan keraton, baik Yogyakarta atau Surakarta. Tampaknya, Dipanagara adalah suatu nama yang membawa sial.
2. Nyaris Tewas di Ulang Tahunnya
Inilah kado sial untuk Sang Pangeran, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-44. Andreas Victor Michiels nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Serdadu Belanda dan Arafura melakukan pengejaran di bawah komando Michiels. Namun, Sang Pangeran berhasil melompat ke jurang dan bersembunyi di rerimbunan gelagah. Andai Dipanagara tewas dalam pengejaran itu, kisah Perang Jawa tak akan seheroik ini—kita tidak akan pernah menjumpai kisah babadnya.
Baca juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara
3. Laskar Dipanagara yang Pemadat
Candu secara luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk menyembuhkan aneka penyakit. Ketika perasaan anti-Cina pada bulan-bulan awal peperangan sedikit mereda, orang Cina mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis belakang. Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Dipanagara jatuh sakit karena ketagihan madat. Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Dipanagara dan dibawa ke Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa. Dia mengungkapkan, “Para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara mereka menjadi budak madat.”
4. Sisi Feminim Sang Pangeran
Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya. Dipanagara mengungkapkan hal tersebut kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira asal Jerman yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado. Bisa jadi sisi psikologis ini dipengaruhi oleh banyak wanita yang pernah mengasuh dan membesarkannya.
Jelang perayaan tahun baru 1829 di Nanggulan, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton serdadu Hindia Belanda Timur. Dalam pertempuran tidak seimbang itu Kapten Hermanus Volkers van Ingen dan anjing irish-red-setter kesayangannya tewas di tangan Laskar Dipanagara. Kini, makam keduanya masih di jumpai di Nanggulan, barat Sungai Progo. Prasasti yang menerangkan keduanya sudah sulit terbaca, sehingga warga sekitar menganggap bahwa makam di samping sang kapten itu adalah kuda tungganggannya.
Baca juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
6. Sistem Stelsel Benteng
Sejak Mei 1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya: Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara. Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 dibangun 258 benteng—area padat ada di Mataram. Dalam strategi ini disusun pula delapan pasukan gerak cepat berdasar area; jelang akhir perang menjadi empat belas. Arsitek benteng medan adalah Kolonel Frans David Cochius. Pasca perang, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah.
Baca juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting
7. Organisasi Militer ala Turki versus Belanda
Laskar Dipanagara, dengan organisasi ala Turki-Usmani: Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang. Hierarki kepangkatan juga beraksen Turki: alibasah setara komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kalinya dalam militer Jawa dikenal kepangkatan. Seperti Dipanagara, para laskarnya juga berserban dan mencukur habis rambutnya—gundul.
Serdadu Hindia Timur, dengan organisasi ala Eropa. Serdadu Hindia Timur bukanlah orang Belanda asli. Pasukan tentara reguler—infanteri, kavaleri, artileri, dan pionir—terdiri atas orang Eropa dan pribumi. Diperkuat Hulptroepen yang merupakan kesatuan tentara pribumi dari Legiun Mangkunagara, barisan Mangkudiningrat, barisan Natapraja, Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, dan Kepulauan Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda yang direkrut dari setiap karesidenan. Lainnya: spion, petugas rohani Islam, kuli, pelayan, koki, dan tukang cuci.
8. Kejujuran Sang Jenderal
Setelah Dipanagara dijebak di Wisma Residen di Magelang, De Kock mengakui kelicikannya dalam catatan hariannya. “Saya memahami sepenuhnya, tindakan saya yang demikian itu tidak terpuji, tidak kesatria dan licik karena Dipanagara telah datang ke Magelang dengan keyakinan dan kejujuran saya untuk mengadakan perundingan dengan saya. Lagipula, ia sendiri tidak mungkin mempunyai rencana-rencana yang bermusuhan...” Kemudian De Kock melanjutkan, “Jika saya menangkap Dipanagara, [...] maka perbuatan itu tentulah akan menimbulkan kesan yang tidak menguntungkan.”
9. Nasib Wangsa Dipanagaran
Setelah perang, keturunan Dipanagara yang berada di pengasingan mereka di luar Jawa tetap dianjurkan oleh Belanda menggunakan gelar kepangeranan. Tujuannya supaya lebih mudah mengawasi. Sementara, keturunan Dipanagara yang berada di Jawa terus dicari dan disingkirkan dalam kerabat keraton—hingga dibunuh. Mereka memilih untuk menghuni lereng-lereng pegunungan di sekitar Yogyakarta. Seorang cicit Dipanagara pernah mendirikan Jajasan Pendidikan Diponegoro pada 1954 di Yogyakarta. Tujuannya, supaya wangsa Dipanagaran yang di pelosok Gunung Kidul dan Bagelen bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Yogyakarta. Walau tersedia uang dan dukungan, tak satu pun orang yang bersedia mengaku keturunan Dipanagara.
10. Perang Jawa Tampaknya Sudah Diramalkan Belanda
Pemerintah Belanda mendapat pemasukan dari bandar-bandar tol yang dikelola oleh orang-orang Cina yang baru tiba dari Fujian. Beberapa tahun jelang Perang Jawa, bandar-bandar gerbang tol kian meresahkan rakyat. Mereka memungut pajak secara membabi buta dan kerap tidak sopan kala penggeledahan terhadap para perempuan. Kemudian, Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta membuat semacam tim audit yang menyingkap sepak terjang gerbang-gerbang tol. Tim audit ini mengusulkan kepada gubernur jenderal untuk menghapus gerbang-gerbang tol di kedua kerajaan itu. “Bahwa kalau gerbang-gerbang tol tersebut tetap diizinkan terus melakukan kegiatannya, maka waktunya tidak lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan bangkit dengan cara yang mengerikan.”
Baca juga: Dipanagara, Sebuah Nama Pembawa Sial?
Onghokham, sejarawan dan cendekiawan, pernah mengungkapkan bahwa jarang sekali raja di Nusantara yang tak segan menghimpun bantuan rakyat untuk kekuatan militer-politis. “Hamengkubuwana I dan Dipanagara merupakan pengecualian,” ungkapnya. Namun, beberapa kasus di Asia Tenggara menunjukkan bahwa “pemberontakan rakyat atau petani tidak mengubah struktur masyarakat.”
“Struktur tetap selalu terdiri atas golongan elite raja dan priyayi, dan di pihak lain adalah rakyat biasa,” ungkap Onghokham. “Mereka tetap saja jadi wong cilik.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR