Ia menyebutkan bahwa masih terdapat satu ahli waris saparuik, atau saudara seibu, dari rumah gadang ini: satu orang anak perempuan. Namun, ia pun turut meninggalkan kampung halaman, pergi merantau mengikuti suaminya ke Kota Bukittinggi. “Kurangnya keturunan perempuan menyebabkan tidak ada yang mampu mengurus rumah gadang kami. Keadaan yang telah menghukum,” sambungnya.
Soal perbaikan rumah gadang, Imam Kayo tidak memiliki banyak pilihan. Posisinya hanya sebagai seorang laki-laki, tidak memiliki hak atas kepemilikan dan perawatan rumah gadang. Seperti laki-laki di Minangkabau pada umumnya, ia tinggal di rumah keluarga istrinya, menjadi sumando (tamu di keluarga perempuan). Ia hanya bisa menunggu peran datuk sebagai pemimpin kaum untuk mengumpulkan anggota kaumnya dan bermusyawarah mengenai nasib rumah gadang itu.
Seorang datuk dipercaya oleh anggota kaumnya sebagai pemimpin dan penjaga harta pusaka kaum. Posisinya sangat penting sebagai penimbang keputusan penggadaian harta pusaka untuk kepentingan yang mendesak dan sesuai ketentuan adat.
Harta pusaka dapat digadaikan apabila dipergunakan dalam empat syarat. Pertama, ‘Mayiak tabujua di ateh rumah’, tidak adanya dana untuk prosesi pemakaman jasad seorang anggota kaum. Kedua, ‘Gadih gadang indak balaki’, perempuan tua yang belum bersuami karena terhambat dana untuk prosesi pernikahan. Ketiga, ‘Mambangkik batang tarandam’, membutuhkan dana untuk mengadakan perhelatan pengangkatan penghulu dalam kaum. Keempat, ‘Rumah gadang katirisan’ memperbaiki atau membangun kembali rumah gadang yang telah rusak.
Selain dari keempat syarat itu, harta pusaka dilarang untuk dijual atau digadaikan. Walaupun penggadaian harta pusaka terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, namun tidak sedikit datuk yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memberikan izin penggadaian harta pusaka kaum di luar ketentuan adat. Sengketa penggadaian harta pusaka menimbulkan ketidakpercayaan kemenakan kepada datuk, sehingga menyebabkan hubungan kedua pihak semakin renggang.
“Sawah kaum saat ini hanya cukup untuk makan saja, sekarang hasilnya sudah tidak seberapa,” ungkap Datuk Maajo Basa ketika saya berjumpa di kediamannya.
Datuk Maajo Basa diangkat sebagai datuk pada tahun 1982, ia berasal dari suku Sikumbang. Dari penuturannya, rumah gadang milik kaumnya itu telah ditinggalkan 20 tahun yang lalu, kemudian difungsikan sebagai Taman Pendidikan Alquran beberapa waktu sesudahnya, hingga pada akhirnya terhenti dan terbengkalai begitu saja.
Ia bekerja sebagai tukang bangunan dan bertani. Ia paham bahwa saat ini bahan kayu untuk rumah gadang sulit untuk didapatkan, ditambah harganya yang semakin mahal. Ia tidak yakin dengan hasil panen padi dari sawah pusaka kaum dapat menutupi biaya perawatan. “Rumah gadang itu dibangun dengan harta pusaka, diperbaiki secara bersama, kalau biaya sendiri itu untuk rumah pribadi, makanya orang-orang lebih memilih membangun rumah pribadi untuk anaknya,” ungkap Datuk Maajo Basa.
Esoknya, saya menuju Jorong Pariangan, ke rumah gadang Datuk Cilangik. Rumah gadang ini menjadi salah satu yang terbesar di Nagari Pariangan dengan sembilan ruang. Kondisi rumah gadang Datuk Cilangik tidak jauh berbeda dengan rumah gadang Datuk Barabanso di Jorong Sikaladi. Bedanya, langit-langit atap rumah gadang ini telah menjadi tempat beristirahat kelelawar di waktu siang hari. Saya tidak cukup berani untuk masuk, lantainya sangat tidak mungkin untuk dipijaki, lapuk dan ringkih. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar rumah gadang juga menceritakan tentang hal-hal mistis yang ada di rumah gadang ini, menambah ketidakyakinan saya untuk masuk ke dalamnya.
Baca juga: "Aum Sendu Harimau Sumatra" Menyambangi Bandung
Penulis | : | Muhammad Alzaki Tristi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR