Baca juga: Kesalahan Fatal, Penjaga Kebun Binatang Diserang Harimau Sumatra
Proses membangun rumah kebesaran kaum ini pun dikerjakan secara bergotong royong. Mencari bahan kayu, memahat, dan menghela tonggak dari hutan, semuanya dilakukan dengan prosesi adat. Untuk menegakkan tonggak rumah gadang dilakukan secara beramai-ramai dan dilaksanakan dengan upacara adat.
Walaupun rumah gadang dimiliki oleh kaum secara bersama, namun Safni mengatakan belum ada satupun anggota kaumnya yang membantu biaya perbaikan rumah gadang hingga saat ini.
“Tidak ada, saya sudah mencoba untuk menanyakan kepada anggota kaum untuk membantu biaya perawatan, namun ekonominya parah, ekonomi saya sendiri hanya cukup untuk makan saja, apalagi membantu rumah gadang, susah,” ujar Safni.
Nagari Pariangan berada di ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut. Nagari ini tersusun dari empat dusun, yaitu Pariangan, Padang Panjang, Guguak, dan Sikaladi. Lokasi nagari ini berada di kaki Gunung Marapi, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan pedagang.
Kebanyakan lahan pertanian di Nagari Pariangan dimiliki secara bersama, terikat sebagai harta pusaka yang dimanfaatkan secara bergantian. Sawah pusaka tidak mudah untuk digadaikan atau diperjualbelikan, terkecuali atas seizin kaum melalui musyawarah bersama datuk dan ninik mamak. Dengan jumlah kepemilikan lahan pertanian yang terbatas, sawah hanya bisa diolah secara bergantian oleh anggota kaum tertentu.
Masyarakat yang tidak mendapatkan bagian dari sawah pusaka kaum memilih untuk bermigrasi ke tanah rantau untuk mencari pekerjaan lain. Seperti Darwis, warga dari Jorong Pariangan yang menceritakan pengalamannya bekerja sebagai teknisi pabrik di Pekanbaru selama 14 tahun, karena tidak memiliki sawah pusaka untuk diolah di kampung halaman.
Baca juga: Hutan di Rawa Tripa Berkurang, Kehidupan Orangutan Sumatra Terancam
“Bagi orang yang memiliki sawah pusaka tentulah bisa bertani, sedangkan orang seperti saya tidak memiliki sawah sama sekali, maka dari itu saya pergi merantau,” jelas Darwis.
Penulis | : | Muhammad Alzaki Tristi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR