Merantau menjadi pilihan sebagian besar masyarakat Nagari Pariangan. Pasalnya, peluang kerja begitu terbatas di kampung halaman, sehingga merantau telah menjadi tradisi bagi laki-laki di Minangkabau.
Jeffrey Hadler (1968- 2017) seorang peneliti asal Amerika Serikat menuliskan politisasi budaya Minangkabau pada 1910-an dan 1920-an. Inilah masa ketika kontroversi publik antara matriarkat, Islam reformis, dan progresivisme mendominasi pergerakan dan masyarakat Minangkabau.
Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tanah Datar menunjukkan perempuan di Nagari Pariangan terus bermigrasi atau merantau setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir (2013-2018), para perantau perempuan di Nagari Pariangan berjumlah 194 orang, yang tersebar baik di luar daerah maupun di luar provinsi.
Kebanyakan dari mereka pergi merantau untuk berdagang, atau pergi bersama suaminya bekerja di tanah rantau. Persoalan ini menjadi faktor umum yang membuat rumah-rumah gadang kian merana. Pada saat perempuan penghuni rumah gadang atau limpapeh meninggalkan kampung halaman, satu demi satu melepaskan tanggung jawabnya sebagai pewaris rumah kebesaran kaum ini.
Rumah gadang yang ditinggalkan rentan mengalami kerusakan, seperti kebocoran pada bagian atap. Tetesan air hujan membuat kayu lapuk secara perlahan. Pada 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat telah melakukan pemetaan mengenai sebaran Sumber daya Budaya di Nagari Pariangan.
Dari total 70 rumah gadang yang terdata, terdapat 13 rumah gadang dengan kondisi rusak dan tidak terawat, dan 20 rumah gadang menyisakan tapak (tanah berdirinya) saja. Dari peta sebaran yang diberikan, saya menuju lokasi rumah-rumah gadang itu dan mencari tahu penyebabnya ditinggalkan.
Saya menuju rumah gadang Datuk Maajo Basa di Jorong Sikaladi. Kondisi bangunan ini hanya menyisahkan tiang dan atap bergonjong, tanpa dinding dan lantai. Rumah gadang tiga ruang ini memiliki halaman luas di sampingnya, yang merupakan bekas berdirinya rumah gadang Datuk Maajo Basa yang pertama. Warga setempat biasa menyebutnya sebagai rumah induak.
Saya menemui pihak keluarga sekaligus ahli waris rumah gadang Datuk Maajo Basa yang bernama Imam Kayo. Ia adalah mamak, sebutan untuk paman, dari rumah gadang itu.
Baca juga: Menjaga Benteng Terakhir Harimau Sumatra di Bukit Barisan Selatan
“Pergi merantau, meninggalkan kampung, keturunan perempuan juga sudah banyak yang meninggal, ini yang menyebabkan rumah gadang tidak terawat,” ungkap Imam Kayo. “Ibu saya memiliki empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Kakak laki-laki saya telah meninggal, dan saudari perempuan saya merantau ke Pekanbaru dan Sawahlunto, yang kemudian juga meninggal di perantauan. Hanya saya yang tinggal sebagai mamak satu-satunya.”
Penulis | : | Muhammad Alzaki Tristi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR