Nationalgeographic.co.id - Laporan dari Organisation for Economic and Cooperation Development (OECD) dalam Green Growth Policy Review (GPPR) 2019 yang dirilis di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan bahwa permukaan tanah area-area pesisir Jakarta turun empat meter dalam waktu 40 tahun terakhir.
"Penurunan akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan dan subsidensi lahan," tulis koordinator studi Eija Kiiskinen dan Britta Labuhn dalam laporannya.
Meskipun lima persen sumber air tawar dunia berada di Indonesia, beberapa wilayah di Indonesia justru menghadapi kelangkaan air. Mutu air tawar sering kali rendah akibat tercemar limbah rumah tangga dan industri yang tidak dibuang tanpa diolah terlebih dahulu. Separuh sungai-sungai di Jawa, pulau terpadat Indonesia, digolongkan tercemar atau tercemar berat.
Akses pada air dan sanitasi masing-masing meningkat 72 persen dan 68 persen pada 2017, tetapi ketimpangan antardaerah masih tinggi.
Baca Juga: Masker Kain Murah Ternyata Tak Ampuh Lawan Polusi Udara Jakarta
Ekspansi jaringan pasokan air dan saluran pembuangan belum dapat menyamai pertumbuhan populasi dan urbanisasi. Hal ini, ditambah dengan pencemaran air permukaan, memaksa banyak warga mengandalkan air tanah. Akibatnya, beberapa cekungan air mengalami ekstraksi berlebih.
"Berbagai inisiatif kebijakan yang bertujuan mengurangi polusi telah mencapai hasil yang positif. Namun, skalanya terlalu kecil untuk meningkatkan, secara signifikan, kualitas air di sungai yang ditargetkan," ujar Kiiskinen dan Labuhn.
Indonesia disarankan merumuskan strategi komprehensif untuk pasokan air, sanitasi, dan pengelolaan air limbah. Perkuat kapasitas untuk memantau tingkat air tanah dan menerapkan izin abstraksi dan pembuangan air.
Pada awal Februari 2018, Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Abdul Malik Sadat Idris juga mengatakan bahwa permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan sekitar tiga sampai 18 sentimeter.
Seperti yang diberitakan, penurunan tanah ini disebabkan oleh beban bangunan gedung dan pengambilan air tanah yang tidak terkontrol.
Abdul mengatakan, tren penurunan permukaan tanah berbeda-beda di setiap lokasi. Namun, penurunan permukaan tanah paling dalam terjadi di Muara Baru, Jakarta Utara. Itulah sebabnya kawasan tersebut kerap terendam banjir rob.
Baca Juga: Tanpa Disadari, Manusia Mengonsumsi Puluhan Ribu Mikroplastik Setiap Tahun
Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah sedang membangun National Capital Integrated Coastal (NCICD) atau tanggul laut di Teluk Jakarta. Tahun ini pemerintah tengah membangun tanggul lanjutan sepanjang 20 kilometer termasuk pembangunan tanggul Muara Baru.
Abdul mengatakan bila penurunan permukaan tanah tidak ditanggulangi, bisa jadi pada 2050 permukaan tanah di Jakarta bisa turun 30 persen.
"(Tahun) 2050 bisa turun permukaan tanah salah satu simulasi bila tidak ditanggulangi," ujar dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tanah Jakarta Turun 4 Meter dalam 40 Tahun Terakhir". Penulis: Nibras Nada Nailufar.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR