Tim Boyes direstui oleh pemerintah Angola, dan mendapat dukungan internasional, untuk melakukan penelitian yang sangat ambisius di Sungai Cuito dan Cubango. Mereka menjelajahi setiap kilometernya dan sebagian anak sungainya, mengamati margasatwa, mengambil sampel kualitas air, mencatat keberadaan manusia dan dampaknya di sepanjang sungai, menciptakan data lengkap yang dapat diakses umum, serta meneliti cara air bersih di Angola tenggara menghidupkan Delta Okavango di Botswana.
Ekspedisi survei ini, sudah dilakukan delapan kali sampai saat ini, sangat sulit dan menyeluruh. Yang pertama dilakukan pada 21 Mei 2015, ketika Boyes dan timnya—dengan kawalan beberapa Land Rover dari HALO Trust, organisasi penjinak ranjau internasional, dan sebuah truk kargo besar Rusia—tiba di danau sumber Sungai Cuito. Mereka membawa beberapa ton perlengkapan dan tujuh mokoro untuk mengangkut manusia dan barang ke hilir. Setelah mendayung berkeliling danau pada hari pertama, mereka menemukan bahwa mulut sungai Cuito hanyalah air sedalam pinggang yang lebarnya sekitar satu meter, dan tidak mungkin diarungi dengan mokoro sepanjang enam meter. Jadi, mereka menyeret perahu sarat muatan itu ke hilir, menerobos rumput tinggi di tepi kali kecil itu, menghelanya seperti kerbau penarik, dan mengambil data sambil jalan. Mokoro mereka terbuat dari kayu dan serat kaca, bukan sampan belongkang dari kayu eboni atau pohon lain seperti yang asli Okavango. Namun, tetap saja sangat berat saat terisi penuh. Mereka menyeret sampan itu setiap hari selama seminggu lebih. Mereka kemudian naik ke sampan, dengan dayung dan galah, tetapi menghadapi tantangan baru: buaya dan kuda nil.
Cuito di bagian hulu pada dasarnya adalah sungai di alam liar—airnya jernih, tepinya dipenuhi alang-alang, tidak ada desa, sedikit tanda keberadaan manusia. Pada pagi hari 11 Juli 2015, di kelok sungai yang lebar, ada sesuatu yang keluar di antara ilalang dan masuk ke air tidak jauh di depan. Boyes, juru mudi sampan terdepan, berteriak, “buaya”, peringatan yang relatif rutin. Dia mengarahkan sampan ke tengah sungai, memberi hewan itu ruang di tepi sungai.
Tiba-tiba, air beriak di samping perahu Boyes saat seekor kuda nil merasa terganggu. Kuda nil merupakan penunggu air dalam. Dan seperti buaya, hewan ini menewaskan ratusan orang setiap tahunnya. “Itu kesalahan besar,” kata Boyes kemudian. “Sepenuhnya salah kami. Kami melintasi satwa itu, dia hanya membela diri.”
Kuda nil itu menancapkan gigi taring bawahnya (sepanjang 50 sentimeter, dan tajam) menembus dasar sampan. Rahang atasnya tidak sampai ke rimbat sampan. Jadi, alih-alih membelah mokoro, menjadi dua, kuda nil membuat sampan itu terbalik, sehingga Boyes dan pendayung haluan, Giles Trevethick, tercebur ke air. Mereka memanjat lambung kapal, dan seorang anggota tim menembakkan suar beruang untuk menghentikan serangan tersebut. Adik Boyes yang bernama Chris, pemimpin ekspedisi itu, yang berada di sampan di belakangnya, berteriak “Berenang!” Boyes dan Trevethick berhasil sampai di tepian, selamat tetapi terguncang. Dalam dua jam, sampan itu selesai ditambal dan ekspedisi itu kembali menghilir.
Hal yang bisa kita ketahui dari episode ini, adalah gambaran proses pengambilan data Okavango Wilderness Project. Dari pengamatan yang dikumpulkan pada jam itu, melalui peralatan elektronik dan mata manusia, yang langsung direkam oleh sistem kompleks, kita tahu bahwa sungai Cuito memiliki arus deras, dasar berpasir, dan tidak banyak vegetasi air. Tetapi, di sana ada karper mulut kecil serta ikan lain. Kita tahu Trevethick mencatat ada burung pekakak kurik, lalu raja udang malakit, yang bertengger di semak tepi sungai. Kita tahu bujur dan lintang tempat kecelakaan itu terjadi, setidaknya dengan akurasi GPS hingga 12 angka di belakang koma. Kita tahu bahwa denyut nadi Steve Boyes (seperti yang direkam arloji Suunto, juga dimasukkan ke sistem), naik tiba-tiba dari 81 denyut per menit menjadi 208 denyut per menit pada pukul 10.57. Dan kita dapat mengasumsikan bahwa 208 adalah denyut jantung normal bagi pemuda yang berusaha menyelamatkan diri dari kuda nil.
Ketika saya bergabung dengan tim Boyes di Sungai Cubango, hampir dua tahun kemudian, pengumpulan data mereka sudah lebih maju dan menyertakan lebih banyak kategori informasi. Suatu pagi saya melihat pemuda Namibia bernama Götz Neef memeriksa tangkapan bubunya tadi malam: Seekor karper mulut besar, ikan-gajah listrik yang disebut ikan Churchill, ikan lele-terbalik, dan masih banyak lagi—makhluk aneh bagi saya, data biogeografi penting bagi orang yang mengenal ikan Afrika. Pengambilan sampel dan koleksi semacam itu, yang dianalisis oleh ahli iktiologi dalam proyek ini, dapat membantu mengungkap perbedaan fauna ikan di Cubango dan Cuito, serta spesies atau subspesies unik yang dimiliki keduanya.
Di Cuito, misalnya, peneliti menemukan kemungkinan spesies baru Clariallabes, ikan lele mirip belut yang dapat menghirup udara yang tampaknya beradaptasi untuk hidup di dalam rawa gambut. Spesialis lain, yang berbasis di Angola, Afrika Selatan, dan Inggris, juga membantu proyek ini menangani koleksi lapangan dan melanjutkan identifikasi dan analisis. Katak dan capung, serta kecebong dan nimfanya, sensitif terhadap polusi dan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas air. Satu kelompok hewan pengerat aneh, disebut sebagai tikus vlei dalam bahasa Afrikaans (menunjukkan bahwa hewan ini hidup di kolam musiman, atau vlei) dan terkenal karena wilayahnya yang kecil, tampaknya terdiversifikasi menjadi lebih dari satu spesies di dataran tinggi itu.
“Angola adalah mata rantai yang hilang, dalam memahami pola evolusi hewan ini,” ujar ahli biologi mamalia kecil Peter Taylor, salah satu pakar dalam proyek tersebut, kepada saya. Tujuan Boyes adalah mengumpulkan fakta semacam itu sehingga terbentuk mosaik detail sistem dua sungai itu, dari segi biologi dan hidrologi, untuk mendukung upaya perlindungan demi kepentingan dua sungai itu dan Delta Okavango.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Rahmad Azhar Hutomo |
KOMENTAR