Namun, burung nasar dibenci pemburu liar karena menunjukkan lokasi gajah yang baru mati, dan burung itu dibunuh dengan cara meracuni daging yang ditinggalkan. Saat aliran airnya lancar pun, Okavango masih dirundung masalah.
Kami terbang ke utara, hingga McNutt berkata: “Di sekitar sini terdapat garis sesar, tempat sungai itu mulai membesar. Dari wilayah gagang.”
Wilayah gagang adalah bagian sungai yang mengalir lambat, yang dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang di atas dataran rendah berawa. Mulainya tepat di sebelah selatan perbatasan Namibia dan mengalir ke tenggara hingga ke garis yang tadi disebut McNutt, yang dinamai ahli geologi sebagai Sesar Gumare. Setelah garis sesar ini terletak palung datar, sebagian dipenuhi sedimen tetapi tetap merupakan zona rendah di Cekungan Kalahari. Di sini, air Sungai Okavango menyebar sehingga membentuk kembang mekar. Kelopak bunga yang mekar itu kemudian tertahan oleh sesar diagonal lain. Saat bertemu dengan bendungan alami itu, sisa air permukaan itu mengalir ke arah barat ke sebuah danau linier, Danau Ngami, atau meresap ke dalam pasir. Di sebelah selatannya: padang garam dan gurun pasir.
Delta itu sendiri mendapat curah hujan, tetapi tidak banyak, dan sebagian besar pada bulan musim panas, yaitu Desember sampai Maret. Dataran tinggi tengah Angola mendapat kelimpahan air, kira-kira 130 sentimeter per tahun, yang merendam lahan gambut dan pasir di bantaran banjir Cuito hulu. Kemudian, perlahan-lahan, setelah tertunda, mengalir sebagai Sungai Cuito dan anak-anak sungainya. Hujan tersebut juga mengisi air Sungai Cubango, tetapi daerah aliran sungai Cubango terletak di tanah yang lebih curam dan berbatu, jadi air hujan musiman turun dengan cepat.
Akibat ketidaksinkronan ini, Delta Okavango mendapatkan tiga gelombang air setiap tahun, memberinya pasokan air yang lebih lama dan lebih bervariasi dibanding yang diperoleh sebagian besar lahan basah air tawar. Air tawar datang secara bergelombang, tersebar sepanjang tahun, dialirkan melalui pola kanal, padang garam, dan laguna yang terus berubah. Ia menunjang kehidupan berbagai jenis tumbuhan yang disuburkan oleh kotoran gajah, kuda nil, dan impala—semuanya adalah resep mujarab kesuburan biologis.
Tantangan terbesar yang dihadapi Proyek Alam Liar Okavango bukan hanya memahami sistem kompleks ini—itu saja sudah sulit—melainkan meyakinkan pejabat Angola, dan rakyat Angola, untuk melestarikan Sungai Cuito dan Sungai Cubango kira-kira seperti keadaannya sekarang. Mengalir bebas dan bersih, tanpa banyak polusi atau pengalihan, melalui bentang alam yang sebagian besar tidak dirusak oleh penebangan kayu, pembuatan arang, pembakaran hutan untuk menggiring hewan buruan, perdagangan daging hewan buruan, skema pertanian yang memerlukan banyak pupuk, pertambangan, atau penggunaan destruktif lainnya. Ini tugas yang mendesak dan tidak mudah.
Beberapa orang yang optimistis mengusulkan agar lanskap di sepanjang Sungai Cuito dan Sungai Cubango itu sendiri dijadikan tujuan pariwisata internasional, dibuatkan pondok kelas atas untuk menarik pengunjung melihat populasi margasatwa menakjubkan yang dipulihkan, seperti antelop raksasa Angola, yang tinggal tersisa sedikit akibat perang selama puluhan tahun. Mungkin atraksi semacam itu bisa dimasukkan dalam rangkaian tur regional, kata mereka. Harapan lain adalah pemerintah Botswana dan industri pariwisatanya menyadari bahaya yang mengancam negeri ajaib mereka—dan bertindak dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, menawarkan kompensasi keuangan kepada Angola agar tidak memutus aliran air. Mungkin sulit mengharapkan rasionalitas dan kepentingan jangka panjang dalam hubungan antarpemerintah mengenai masalah sumber daya. Namun, Delta Okavango sendiri adalah fenomena langka yang memerlukan perhatian, imajinasi, dan upaya yang luar biasa.
Sementara itu, perubahan di Angola, seperti kata Boyes, terjadi dengan cepat. “Andaikan kita baru memulai upaya ini tiga tahun lagi, sudah tidak ada lagi yang dilindungi.” Masa depan menyimpan ketidakpastian bagaikan aliran sungai yang melintasi kehidupan di negeri lain.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Rahmad Azhar Hutomo |
KOMENTAR