Nationalgeographic.co.id - Mengapa banyak masalah dalam hidup ini seolah tidak ada habisnya, tak peduli usaha keras kita untuk mengatasinya? Ternyata ada keunikan dalam cara kerja otak manusia: semakin jarang sesuatu terjadi, justru semakin sering kita lihat sesuatu itu di mana-mana.
Coba kita bayangkan sebuah program keamanan lingkungan yang melibatkan sukarelawan agar menghubungi polisi kalau mereka melihat hal-hal mencurigakan. Seorang sukarelawan bergabung untuk mengurangi angka kriminalitas di wilayah dia. Di masa awal dia bergabung, dia segera melapor kalau melihat tanda-tanda kejahatan serius, seperti kekerasan atau perampokan.
Anggaplah, setelah beberapa lama, segala usaha ini membantu menurunkan angka kekerasan dan perampokan. Apa yang akan sukarelawan ini lakukan selanjutnya? Ada kemungkinan dia jadi santai dan berhenti melapor ke polisi karena hal-hal yang dulu ia khawatirkan sudah tidak ada.
Baca Juga: Ani Liu, Seniman yang Mampu Simpan Aroma Tubuh Seseorang Dalam Botol
Tapi bisa jadi juga Anda menebak sama seperti kelompok yang saya teliti: banyak sukarelawan dalam situasi yang sama justru tidak merasa lega karena kejahatan berkurang. Justru mereka mulai menganggap hal-hal yang dulu mereka tidak lihat sebagai tanda-tanda kejahatan – seperti orang menyeberang jalan sembarangan atau menongkrong – sebagai sesuatu yang patut dilaporkan.
Bisa kita bayangkan hal yang sama terjadi di banyak situasi serupa; masalah terus ada karena definisi “masalah” terus diganti. Hal ini bisa disebut sebagai pergeseran konsep (concept creep ) atau mengganti peraturan (moving the goalposts), dan ini bisa jadi memusingkan.
Bagaimana kita bisa tahu apakah kita sedang menyelesaikan masalah, jika kita selalu mendefinisikan ulang masalahnya?
Saya dan kolega ingin memahami kapan hal-hal seperti ini terjadi, mengapa, dan apakah bisa dicegah.
Untuk mempelajari perubahan konsep terhadap sesuatu saat semakin jarang ditemui, kami membawa sukarelawan ke dalam laboratorium kami dan memberi mereka tugas sederhana – untuk melihat beberapa wajah, kemudian memutuskan yang mana yang “membahayakan.”
Wajah-wajah ini telah dirancang sedemikian rupa oleh para peneliti agar beragam dari yang terlihat sangat mengintimidasi sampai yang tidak berbahaya.
Begitu kami menunjukkan wajah-wajah yang semakin tidak menakutkan, kami menemukan bahwa sukarelawan melebarkan definisi mereka tentang apa itu wajah yang “menakutkan”.
Dengan kata lain, ketika mereka tidak lagi menemukan wajah yang menakutkan, mereka mulai menyebut wajah yang sebelumnya dianggap tidak menakutkan menjadi menakutkan. Alih-alih menjadi konsisten, apa yang mereka anggap “menakutkan”, mereka bergantung pada seberapa banyak ancaman yang mereka lihat belakangan ini.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR