Nationalgeographic.co.id - Saat ini lebih dari 700 juta orang di dunia meminum air dari sumber air yang tidak aman dan tidak diolah, seperti sumur, mata air, dan air permukaan
Sekitar setengah dari mereka tinggal di sub-Sahara Afrika. Faktanya, di 30 atau lebih negara di Afrika, kurang dari 20% masyarakatnya yang memiliki akses air minum yang layak. Di Asia Tenggara, lebih dari 140 juta orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman.
Perubahan iklim tampaknya memperburuk keadaan dengan menjadikan air semakin sulit didapat di beberapa lokasi dan mengubah waktu siklus tersedianya air.
Menentukan apakah suatu kawasan memiliki pasokan air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan proses yang rumit dan tidak bisa sempurna. Tim peneliti kami telah mengembangkan sebuah pendekatan baru untuk mengukur kelangkaan air dengan menggunakan satelit yang letaknya sangat jauh di angkasa.
Untuk mengukur kelangkaan air, para ahli hidrologi, orang yang mempelajari ilmu air, menciptakan sesuatu yang disebut “anggaran air.”
Mereka memperkirakan jumlah air yang masuk ke suatu negara - dari sungai, air terjun, air tanah, dan sumber-sumber buatan manusia – kemudian menguranginya jumlah air yang keluar dari negara tersebut. Sehingga, didapat perkiraan jumlah air yang tersedia di negara atau kawasan tersebut.
Baca Juga: Ilmuwan: Pengobatan Kanker Semakin Tepat Sasaran
Para ahli hidrolgi kemudian membagi jumlah air yang tersedia dengan populasi di kawasan tersebut, sehingga diketahui apakah ketersediaan air di negara tersebut mencukupi atau tidak.
Umumnya rata-rata tiap orang di Amerika Serikat (AS) menggunakan 300-400 liter per hari untuk kebutuhan dasar – seperti minum, sanitasi, mandi, dan menyiapkan makanan.
Secara umum, suatu negara dapat disebut mengalami kelangkaan air serius apabila ketersediaan airnya kurang dari 500.000 liter bagi setiap orang per tahun, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pertanian.
Penghitungan “anggaran air” ini bisa digunakan apabila tersedia data yang akurat untuk setiap sumber air. Namun, di banyak kawasan berkembang, seperti Afrika, data-data tersebut tidak tersedia.
Sedangkan, Afrika benar-benar mebutuhkan informasi yang akurat tentang status kelangkaan airnya. Sebagai benua dengan populasi terbesar kedua, Afrika diperkirakan akan memiliki populasi 2,4 miliar orang pada 2050, kurang lebih dua kali lebih besar dari populasi saat ini. Pertumbuhan populasi yang cepat akan menambah masalah ketersediaan air di benua ini dan memperburuk keadaan yang sudah buruk.
Jadi, menaksir potensi sumber daya air yang tersedia menjadi penting untuk masa depan.
Penelitian kami menggunakan pendekatan baru dalam memperkirakan kelangkaan air.
Kami mengambil data dari dua sistem satelit. Sistem pertama disebut Tropicanal Rainfall Measuring Mission, telah beroperasi sejak 1997 oleh Amerika Serikat dan Jepang. Sistem ini menggunakan beberapa instrumen - termasuk sebuah radar untuk mengukur kandungan kelembapan udara yang berbentuk cairan atau bahan padat, alat visualisasi gelombang pendek, dan pemindai inframerah – untuk memperkirakan kemungkinan turunnya hujan. Memperkirakan turunnya hujan dengan akurat sangat penting karena ini merupakan sumber air yang paling penting bagi manusia.
Sistem kedua disebut Gravity Recovery and Climate Experiment, sebuah sistem yang dikembangkan oleh AS dan Jerman. Pertama kali diluncurkan pada 2002, Gravity Recovery and Climate Experiment adalah satelit kembar yang menggunakan perubahan di bidang gravitasi Bumi untuk memperkirakan perubahan sumber daya air global, dari permukaan Bumi hingga lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air (akuifer) tanah yang paling dalam.
Kami menggabungkan data dari kedua sistem satelit ini untuk memperhitungkan potensi ketersediaan air per bulan dari seluruh sumber air untuk setiap negara di Afrika, dari tahun 2002 sampai 2016. Setelah membagi hasilnya dengan populasi di setiap negara, kami mendapatkan perhitungan baru untuk ketersediaan air cadangan per kapita.
Karena data dari kedua sistem juga memperkirakan jumlah air di akuifer air tanah terdalam, yang sebenarnya sangat sulit untuk diakses karena keterbatasan teknologi dan ekonomi, kami merujuk temuan baru ini sebagai potensi penyimpanan air yang tersedia.
Kami membandingkan hasil kami dengan data terbaru yang digunakaan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Metode mereka bergantung pada perhitungan anggaran air konvensional untuk menghitung seluruh sumber air terbarukan di suatu negara. Dari hasil tersebut, mereka mengklasifikasikan setiap negara ke dalam satu dari empat kategori: cukup air, rentan, genting air, atau langka air.
Dari 48 negara yang kami teliti, metode kami mengklasifikasikan 26 negara ke dalam kategori yang sama dengan metode PBB; 12 negara kami klasifikasikan memiliki air lebih tinggi ketimbang temuan PBB, dan 10 lebih rendah.
Hasil ini tidak mengejutkan, mengingat kami memperhitungkan air di akuifer air tanah terdalam yang tidak diperhitungkan oleh PBB. Metode PBB tampaknya tidak memasukkan cadangan air dalam tanah yang jumlahnya bisa besar di beberapa negara.
Di samping itu, akurasi dari metode kami bisa saja dipengaruhi oleh besarnya sebuah negara. Negara-negara yang dianggap kecil untuk ukuran Gravity Recovery dan Climate Experiment. Kemampuan kedua sistem baru akurat jika ukuran sebuah negara mencapai sekitar 200.000 kilometer persegi. Lebih kecil dari itu besar kemungkinannya, hasilnya tidak ukuran.
Baca Juga: Fukushima Kehabisan Tempat untuk Menyimpan Air yang Terkontaminasi Radioaktif
Pada 2050, dengan asumsi tidak ada perubahan dalam ketersediaan sumber air, kami memproyeksikan 19 negara di Afrika akan menghadapi kelangkaan air dan sembilan negara mengalami genting air. Namun, jika perubahan iklim menyebabkan berkurangnya sumber air di Afrika sebesar 10%, yang sesuai dengan beberapa perkiraan iklim untuk beberapa negara Afrika, maka sekitar 85% populasi di Afrika akan mengalami kelangkaan air yang sangat serius.
Secara umum, kami berpikir bahwa metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode-metode yang telah ada. Metode ini mematahkan beberapa batasan terkait ketidaksediaan dan keandalan data di Afrika. Data yang kami gunakan lebih berkelanjutan secara temporal dan spasial, serta lebih mudah diakses oleh peneliti. Sehingga, perkiraan kelangkaan air dapat dilakukan jauh lebih cepat untuk seluruh benua.
Satelit akan mengumpulkan data baru pada tahun-tahun mendatang. Kami berencana memanfaatkan data tersebut untuk memperbaiki penelitian kami, sehingga akan ada peningkatan akurasi dan jangkauan yang lebih luas, tidak hanya di Afrika, tapi juga seluruh dunia.
Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Emad Hasan, Postdoctoral Researcher in Geography, Binghamton University, State University of New York dan Aondover Tarhule, Vice Provost and Dean of the Graduate School, Binghamton University, State University of New York
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR