Jadi, menaksir potensi sumber daya air yang tersedia menjadi penting untuk masa depan.
Penelitian kami menggunakan pendekatan baru dalam memperkirakan kelangkaan air.
Kami mengambil data dari dua sistem satelit. Sistem pertama disebut Tropicanal Rainfall Measuring Mission, telah beroperasi sejak 1997 oleh Amerika Serikat dan Jepang. Sistem ini menggunakan beberapa instrumen - termasuk sebuah radar untuk mengukur kandungan kelembapan udara yang berbentuk cairan atau bahan padat, alat visualisasi gelombang pendek, dan pemindai inframerah – untuk memperkirakan kemungkinan turunnya hujan. Memperkirakan turunnya hujan dengan akurat sangat penting karena ini merupakan sumber air yang paling penting bagi manusia.
Sistem kedua disebut Gravity Recovery and Climate Experiment, sebuah sistem yang dikembangkan oleh AS dan Jerman. Pertama kali diluncurkan pada 2002, Gravity Recovery and Climate Experiment adalah satelit kembar yang menggunakan perubahan di bidang gravitasi Bumi untuk memperkirakan perubahan sumber daya air global, dari permukaan Bumi hingga lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air (akuifer) tanah yang paling dalam.
Kami menggabungkan data dari kedua sistem satelit ini untuk memperhitungkan potensi ketersediaan air per bulan dari seluruh sumber air untuk setiap negara di Afrika, dari tahun 2002 sampai 2016. Setelah membagi hasilnya dengan populasi di setiap negara, kami mendapatkan perhitungan baru untuk ketersediaan air cadangan per kapita.
Karena data dari kedua sistem juga memperkirakan jumlah air di akuifer air tanah terdalam, yang sebenarnya sangat sulit untuk diakses karena keterbatasan teknologi dan ekonomi, kami merujuk temuan baru ini sebagai potensi penyimpanan air yang tersedia.
Kami membandingkan hasil kami dengan data terbaru yang digunakaan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Metode mereka bergantung pada perhitungan anggaran air konvensional untuk menghitung seluruh sumber air terbarukan di suatu negara. Dari hasil tersebut, mereka mengklasifikasikan setiap negara ke dalam satu dari empat kategori: cukup air, rentan, genting air, atau langka air.
Dari 48 negara yang kami teliti, metode kami mengklasifikasikan 26 negara ke dalam kategori yang sama dengan metode PBB; 12 negara kami klasifikasikan memiliki air lebih tinggi ketimbang temuan PBB, dan 10 lebih rendah.
Hasil ini tidak mengejutkan, mengingat kami memperhitungkan air di akuifer air tanah terdalam yang tidak diperhitungkan oleh PBB. Metode PBB tampaknya tidak memasukkan cadangan air dalam tanah yang jumlahnya bisa besar di beberapa negara.
Di samping itu, akurasi dari metode kami bisa saja dipengaruhi oleh besarnya sebuah negara. Negara-negara yang dianggap kecil untuk ukuran Gravity Recovery dan Climate Experiment. Kemampuan kedua sistem baru akurat jika ukuran sebuah negara mencapai sekitar 200.000 kilometer persegi. Lebih kecil dari itu besar kemungkinannya, hasilnya tidak ukuran.
Baca Juga: Fukushima Kehabisan Tempat untuk Menyimpan Air yang Terkontaminasi Radioaktif
Pada 2050, dengan asumsi tidak ada perubahan dalam ketersediaan sumber air, kami memproyeksikan 19 negara di Afrika akan menghadapi kelangkaan air dan sembilan negara mengalami genting air. Namun, jika perubahan iklim menyebabkan berkurangnya sumber air di Afrika sebesar 10%, yang sesuai dengan beberapa perkiraan iklim untuk beberapa negara Afrika, maka sekitar 85% populasi di Afrika akan mengalami kelangkaan air yang sangat serius.
Secara umum, kami berpikir bahwa metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode-metode yang telah ada. Metode ini mematahkan beberapa batasan terkait ketidaksediaan dan keandalan data di Afrika. Data yang kami gunakan lebih berkelanjutan secara temporal dan spasial, serta lebih mudah diakses oleh peneliti. Sehingga, perkiraan kelangkaan air dapat dilakukan jauh lebih cepat untuk seluruh benua.
Satelit akan mengumpulkan data baru pada tahun-tahun mendatang. Kami berencana memanfaatkan data tersebut untuk memperbaiki penelitian kami, sehingga akan ada peningkatan akurasi dan jangkauan yang lebih luas, tidak hanya di Afrika, tapi juga seluruh dunia.
Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Emad Hasan, Postdoctoral Researcher in Geography, Binghamton University, State University of New York dan Aondover Tarhule, Vice Provost and Dean of the Graduate School, Binghamton University, State University of New York
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR