Nationalgeographic.co.id – Suara ceria anak-anak yang diiringi lagu Gemu Fa Mi Re, terdengar saat National Geographic Indonesia mengunjungi Sekolah Dreamable yang berada di bawah naungan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Hidayah. Kala itu, ada sekitar 30 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tampak semangat mengikuti gerakan senam yang dipimpin oleh guru-guru mereka.
Ya, sekolah Dreamable yang terletak di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung ini, merupakan sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Berawal dari pengalamannya sendiri yang memiliki anak tuna grahita, Yulianti (36), penggagas sekolah nonformal tersebut, merasa bahwa ABK juga harus mendapatkan pendidikan. Menurutnya, ABK perlu diajarkan bina diri hingga nantinya bisa hidup mandiri.
Keengganan orangtua dan terbatasnya fasilitas
Awalnya, banyak orangtua yang tidak ingin bergabung bersama Yulianti. Mereka menolak menyekolahkan anaknya karena skeptis akan kemampuan sang buah hati. Bahkan, ada orangtua yang mengatakan: “Ah, buat apa sekolah? Anak ini kan gila, percuma disekolahin!”
Yang lebih menyedihkan, ada keluarga yang sengaja menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus, karena mereka malu.
“Ada anak yang sering diajak mengemis, tapi ada juga yang dibiarkan saja telanjang setiap hari,” cerita Yulianti.
Baca Juga: Kisah Dua Pengantin Anak Suriah yang Menikah di Usia 14 Tahun
Namun, Yulianti tidak menyerah. Keprihatinan akan kondisi ABK ini semakin mendorongnya untuk terus membujuk orang tua. Mereka terus melakukan kunjungan dan pendekatan kepada pada orangtua.
Yuli juga tidak lupa menceritakan keberhasilan dalam mengasuh putranya, Hanif Naufal, yang sekarang sudah bisa makan, mandi sendiri, dan bahkan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga–seperti menyapu, mengangkat jemuran, serta mencuci piring–meski berkebutuhan khusus.
Perjuangan Yulianti membuahkan hasil. Ada beberapa orangtua yang akhirnya bersedia menyekolahkan anaknya. Dari hanya enam murid, kini sekolahnya memiliki 38 murid.
Awalnya, pada 2015, Yulianti merelakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar dan mengajar ABK. Di ruangan seluas 2x4 meter, tanpa meja dan kursi, para ABK berkumpul bersama dan melakukan berbagai kegiatan pembelajaran.
Tidak dapat dipungkiri, dana dan keterbatasan fasilitas menjadi kendala Yulianti dan rekan-rekannya. Ruang tamu yang kecil tidak bisa menampung banyak ABK. Selain itu, anak-anak tidak hanya belajar mewarnai, membaca, atau motorik halus, mereka juga butuh belajar di luar ruangan.
Namun, piknik atau berenang tidak bisa sering-sering dilakukan karena keterbatasan biaya.
Setelah mendengar cerita dan kegigihan para guru, melalui program Dreamable, Pertamina terdorong untuk membantu mengembangkan sekolah ini di bawah asuhan TBBM Bandung Group sejak 2018.
Bantuan dari Pertamina diberikan secara bertahap. Tahap pertama, diberikan dalam bentuk perlengkapan belajar seperti buku, pensil warna, cat air, alat peraga belajar, dan juga seragam. Kemudian, kelas pun ditambah untuk menampung lebih banyak murid. Ada juga mobil home care yang berguna untuk antar jemput murid ABK.
Bambang Soeprijono, Operation Head PT Pertamina (Persero) TBBM Bandung Group berharap, dengan adanya program Dreamable, anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah ini nantinya dapat lebih mandiri dan mampu meraih cita-citanya.
“Sesuai namanya, Dreamable, kami ingin mewujudkan mimpi anak-anak ini menjadi kenyataan,” tutur Bambang.
Mengajar dengan hati
Kegiatan belajar mengajar di sekolah Dreamable dimulai dari pukul delapan hingga sebelas pagi. Setelah itu, biasanya murid ABK bersama-sama menyantap bekal makan siang. Tidak hanya beristirahat sejenak dan mengisi perut, anak-anak juga belajar cara makan. Dimulai dari mengenalkan berbagai jenis makanan seperti ikan, ayam, dan telur, hingga melatih mereka agar bisa memegang sendok dan makan sendiri tanpa disuapi.
Bagi kita, kebiasaan makan ini adalah hal yang mudah. Namun, bagi ABK, perlu waktu yang lama agar mereka benar-benar bisa melakukannya, dan harus dilakukan berulang-ulang agar mereka tidak lupa.
Selain membina diri, anak-anak ini juga diajarkan salat, menghapal doa, dan surat-surat pendek. Mereka juga berlatih membaca dan menulis, berolahraga, serta mencoba mengenal lingkungan sekitarnya dengan kegiatan luar ruangan.
Tidak mudah mengajar anak berkebutuhan khusus. ABK memiliki keunikan yang berbeda dengan anak pada umumnya. Beberapa cirinya menonjol, tidak suka bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan dengan orang tuanya sendiri.
Walau sebagian anak telah remaja atau berusia belasan tahun, tapi secara psikologis perilaku dan pola pikirnya setara dengan anak usia delapan tahun.
Meski begitu, Yulianti mengaku tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anak-anak didiknya akhirnya bisa melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai dari hal terkecil seperti makan, membersihkan kotoran, mandi, dan memakai baju sendiri. Jadi, jika ditanya lagi apa suka dan dukanya dalam mengajar, ia dengan yakin menjawab, “Dukanya sedikit, banyakan sukanya.”
Baca Juga: Berbuat Baik Benar-Benar Membuat Kita Bahagia, Ini Alasan di Baliknya
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dhea Trihutami, salah satu pengajar di sekolah Dreamable. “Ada suka dukanya mengajar, tapi biasanya dukanya hanya berapa detik, terus lupa,” tutur Dhea. Anak-anak didiknya seringkali memancing Dhea untuk tertawa. Selalu ada tingkah polah mereka yang lucu. Inilah yang membuatnya terus semangat mengajar mereka.
Melihat semangat dan ketulusan para pengajar, bukan tidak mungkin Sekolah Dreamable dapat lebih berkembang dan menghasilkan ABK yang mandiri. Perjuangan orang tua dalam mengusahakan pendidikan anak pun patut dipuji.
“Di saat anak-anak sudah mendapatkan pekerjaan, itu artinya mereka sudah lulus dari Sekolah Dreamable ini,” pungkas Yulianti.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR