Awalnya, pada 2015, Yulianti merelakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar dan mengajar ABK. Di ruangan seluas 2x4 meter, tanpa meja dan kursi, para ABK berkumpul bersama dan melakukan berbagai kegiatan pembelajaran.
Tidak dapat dipungkiri, dana dan keterbatasan fasilitas menjadi kendala Yulianti dan rekan-rekannya. Ruang tamu yang kecil tidak bisa menampung banyak ABK. Selain itu, anak-anak tidak hanya belajar mewarnai, membaca, atau motorik halus, mereka juga butuh belajar di luar ruangan.
Namun, piknik atau berenang tidak bisa sering-sering dilakukan karena keterbatasan biaya.
Setelah mendengar cerita dan kegigihan para guru, melalui program Dreamable, Pertamina terdorong untuk membantu mengembangkan sekolah ini di bawah asuhan TBBM Bandung Group sejak 2018.
Bantuan dari Pertamina diberikan secara bertahap. Tahap pertama, diberikan dalam bentuk perlengkapan belajar seperti buku, pensil warna, cat air, alat peraga belajar, dan juga seragam. Kemudian, kelas pun ditambah untuk menampung lebih banyak murid. Ada juga mobil home care yang berguna untuk antar jemput murid ABK.
Bambang Soeprijono, Operation Head PT Pertamina (Persero) TBBM Bandung Group berharap, dengan adanya program Dreamable, anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah ini nantinya dapat lebih mandiri dan mampu meraih cita-citanya.
“Sesuai namanya, Dreamable, kami ingin mewujudkan mimpi anak-anak ini menjadi kenyataan,” tutur Bambang.
Mengajar dengan hati
Kegiatan belajar mengajar di sekolah Dreamable dimulai dari pukul delapan hingga sebelas pagi. Setelah itu, biasanya murid ABK bersama-sama menyantap bekal makan siang. Tidak hanya beristirahat sejenak dan mengisi perut, anak-anak juga belajar cara makan. Dimulai dari mengenalkan berbagai jenis makanan seperti ikan, ayam, dan telur, hingga melatih mereka agar bisa memegang sendok dan makan sendiri tanpa disuapi.
Bagi kita, kebiasaan makan ini adalah hal yang mudah. Namun, bagi ABK, perlu waktu yang lama agar mereka benar-benar bisa melakukannya, dan harus dilakukan berulang-ulang agar mereka tidak lupa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR