Nationalgeographic.co.id - Pemanasan global terjadi dengan cepat akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca. Suhu di Australia menghangat sekitar 1°C sejak 1910, dengan perkiraan peningkatan suhu global sebesar 3-5°C pada abad ini.
Kondisi di Australia tersebut melampaui kurva suhu global. Suhu harian rata-rata di negara kami mencapai 21,8 °C, lebih panas 13,7°C dari rata-rata global 8,1°C.
Panas ekstrem (di atas 35°C pada siang hari dan di atas 20°C pada malam hari) kini lebih kerap terjadi di Australia, meningkat menjadi sekitar 12%, dari sekitar 2% di sepanjang waktu antara tahun 1951 dan 1980.
Jadi, apa dampak suhu tinggi pada tubuh kita? Dan, seberapa besar panas yang bisa ditoleransi oleh tubuh dan cara hidup kita?
Musim panas di Australia rentang waktu 2018-2019 tercatat 2,14°C lebih panas dibandingkan pada tahun 1961-1990.
Ini memecahkan rekor terpanas yang terjadi di tahun 2012-2013 dengan selisih yang jauh, termasuk mencatatkan suhu terpanas selama lima hari berturut-turut dengan rata-rata suhu nasional maksimum di atas 40°C.
Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Paruh pertama tahun 2019 setara adalah peringkat kedua terpanas yang tercatat dalam rekor dunia, dan juga Australia.
Badan Meteorologi Australia (BOM) telah memperingatkan bahwa musim panas tahun ini akan lebih panas dari sebelumnya.
Angin yang berasal dari utara yang panas dan kering, yang melintasi New South Wales dan Queensland yang sedang dilanda kekeringan mempunyai kapasitas untuk menghadirkan panas yang terik dan risiko kebakaran ekstrem bagi negara-negara di bagian selatan, dan tampaknya sedikit kelegaan bagi mereka yang mengalami kekeringan.
Beberapa orang Australia di pedesaan sudah terpapar dengan panas mencapai suhu 50°C, dan kota-kota besar di selatan Australia akan mengalami hal yang sama dalam puluhan tahun mendatang.
Sama halnya dengan kebanyakan mamalia dan burung, manusia adalah endoterm (berdarah panas), yang berarti suhu operasi internal optimal manusia (sekitar 36,8°C +/− 0,5) sedikit mungkin dipengaruhi oleh suhu lingkungan.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR