“Kota-kota tujuan kita ini panas semuanya, ya,” kata Soleh Solihun kepada saya. Saya mengamini ujaran Soleh itu. Sepanjang pesisir ini, terik matahari tak main-main. Di Taman Srigunting Semarang, papan penunjuk suhunya tercatat 40 derajat. Tapi, angka itu tak diindahkan oleh wisatawan yang berlalu-lalang. Mereka, para wisatawan itu, masih asyik berswafoto dengan latar bangunan-bangunan tua di Kota Lama Semarang. Saya, Soleh, dan juga Didi, memilih untuk menepi. Sebab matahari di sini tak bisa diajak berkompromi.
Jalan Raya Pos, juga jalur kereta, yang dibangun ratusan tahun silam di pesisir utara Pulau Jawa telah berdampak luas pada kota dan manusia yang menghuninya. “Jalur ini memudahkan bercampurnya budaya dan gagasan-gagasan baru,” kata Denys Lombard dalam bukunya itu. Beberapa kota tua di pesisir ini tak mampu bertahan dari derasnya modernitas. Denyut kota dan laku manusia yang dilihat oleh Didi dan Soleh selama perjalanan ini hanya menyisakan sedikit tanda-tanda kejayaan masa silam di pesisir utara Jawa. Selebihnya, hanya tersurat di buku-buku sejarah, namun raib di permukaan.
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.
Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.
Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.
Penulis | : | Zulkifli |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR