Nationalgeographic.co.id - Salah satu gletser di Antartika yang bernama Pine Island menyusut dan runtuh pada Sabtu (15/2) lalu. World Meteorological Organization (WMO) mencatat bahwa suhu luar biasa tinggi terjadi di Semenanjung Antartika pada 9 Februari, di mana stasiun cuaca di Pulau Seymour menangkap hasil yang hampir mencapai 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celsius).
Fenomena ini menunjukkan bahwa betapa rentannya bongkahan es yang terbentuk dan runtuh selama periode satu tahun ini. Diketahui bahwa runtuhnya gletser Pine Island ini sudah terjadi sebanyak sembilan kali sejak European Space Agency (ESA) memantau area tersebut pada tahun 1990-an.
Baca Juga: Bagaimana Dampak Perubahan Iklim Pada Wilayah Kutub dan Tropis?
Para peneliti sangat khawatir dengan kondis gletser ini. Pasalnya, gletser Pine Island dan gletser Thwaites yang berada di sebelahnya, terhubung dengan lapisan es Antartika sebelah barat, yang langsung terhubung juga dengan samudra.
Penyusutan dan pencairan gletser tersebut ditakutkan akan menghasilkan air dalam jumlah besar ke samudra. Tentunya memberikan dampak pada komposisi samudra di bagian selatan.
Peneliti mencatat, pencairan dua gletser tersebut menyebabkan es bergerak sekitar 10 meter per harinya selama 25 tahun terakhir. Padahal, gletser tersebut memiliki ketebalan sekitar 500 meter.
Baca Juga: Kabar Buruk, Hutan Amazon Menghasilkan Karbon Lebih Banyak Dibanding yang Diserapnya
Yang menyedihkan, terjadi penurunan populasi penguin yang tinggal di area tersebut. Di Elephant Island, sebelah timur laut Pine Island, populasi penguin berkurang hampir setengahnya sejak surve terakhir di tahun 1971.
Dilansir dari CNN, Noah Strycker, peneliti penguin di Universitas Stony Brook, berkata bahwa fenomena ini, yang secara umum disebabkan oleh perubahan iklim, menghilangkan sumber utama makanan si penguin tersebut.
Penguin, anjing laut, serta ikan paus semua bergantung pada udang krill, dan udang krill bergantung pada es. Jika perubahan iklim memengaruhi es, maka itu akan berdampak pada semua spesies tersebut.
Source | : | CNN,IFL Science |
Penulis | : | Aditya Driantama H |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR