Mengetahui jenis gas rumah kaca juga penting karena beberapa jenis gas lebih berbahaya bagi iklim ketimbang yang lainnya.
Sebagai contoh, nitro oksida (N2O), yang dihasilkan oleh bakteri di tanah, hampir 300 kali lebih membahayakan lingkungan dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2).
Setelah mendapatkan hasil pengukuran tersebut, kami menggunakan data satelit untuk menghitung berapa persen emisi gas rumah kaca dari kawasan Asia Tenggara yang berasal dari kegiatan di perkebunan kelapa sawit.
Hasilnya, total emisi gabungan dari dua negara, Malaysia dan Indonesia, antara 16,6% dan 27,9%, untuk perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut.
Angka tersebut setara dengan 0,44% hingga 0,74% dari emisi gas rumah kaca dunia per tahun.
Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca nasional, baik di Malaysia maupun di Indonesia, mengubah arah kebijakan terkait perubahan penggunaan lahan gambut menjadi langkah krusial yang patut dilakukan.
Penelitian kami juga menemukan kapan emisi gas rumah kaca lepas saat terjadi proses konversi. Hal ini belum pernah diketahui sebelumnya.
Data kami menunjukkan tingkat emisi gas rumah kaca tersebut tertinggi dihasilkan oleh kebun baru (sampai umur lima tahun) dengan pohon sawit muda, atau dua kali lipat dibandingkan dengan kebun lebih lama.
Hal ini disebabkan oleh lebih banyak makanan bagi mikroba saat lahan baru dikonversi.
Ketika kebun lama sudah banyak kehilangan nutrien dan carbon, maka mikroorganisme akan kekurangan makanan untuk diubah menjadi gas emisi rumah kaca.
Inilah kenapa kebun lama cenderung menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah ketimbang lahan yang baru dibuka.
Untuk mendapat perhitungan tepat dari emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan perkebunan, kami harus mengukur keseluruhan siklus hidup dari perkebunan atau kami tidak bisa menentukan kapan tingkat emisi tertinggi terjadi.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR