Nationalgeographic.co.id - Kawasan gambut di wilayah tropis, tidak hanya menjadi habitat bagi orangutan dan beruang madu, namun juga berperan penting sebagai salah satu ekosistem penting bagi dunia.
Hutan gambut yang terdapat di negara dengan suhu hangat, seperti Malaysia dan Indonesia, mampu menyerap karbon dioksida dari atmosfer, menyimpan karbon tersebut dalam tanah, dan mengurangi jumlah kandungan gas rumah kaca atmosfer.
Sayangnya, hutan gambut rusak sejak tahun 1990an akibat perubahan fungsi menjadi perkebunan, terutama untuk menghasilkan minyak kelapa sawit–minyak nabati murah yang biasa kita temukan sebagai campuran dalam produk makanan, kosmetik, hingga bahan bakar.
Baca Juga: Kabar Buruk, Hutan Amazon Menghasilkan Karbon Lebih Banyak Dibanding yang Diserapnya
Untuk mengakomodasi pohon sawit yang tidak bisa tumbuh di kondisi basah dan berlumpur, pemilik kebun kemudian menebang pohon dan mengeringkan air di kawasan hutan gambut hingga rusak parah.
Sejauh ini, riset kami menemukan 3 juta hektare lahan gambut di Malaysia dan Indonesia sudah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit.
Sewaktu Anda membaca artikel ini, ada kawasan baru yang sedang dikonversi dengan tingkat kerusakan yang sangat mengkhawatirkan.
Ini masalah serius. Saat hutan gambut kering, ia melepaskan gas rumah kaca yang tersimpan di tanah ke udara.
Penelitian kami mengkaji, bagaimana proses konversi hutan gambut ke kebun kelapa sawit bisa memberikan sumbangan pada total emisi gas rumah kaca secara global.
Kami menemukan bahwa emisi gas rumah kaca akibat konversi lahan hutan ke kebun kelapa sawit yang terjadi di Asia Tenggara bernilai 0.8% dari nilai total emisi gas rumah kaca seluruh dunia. Atau, setara dengan setengah jumlah emisi industri penerbangan dunia.
Tim kami melakukan pengukuran lapangan pada hutan gambut di Selangor Utara, Malaysia, untuk mengetahui jumlah dan jenis gas rumah kaca yang dikeluarkan dalam setiap tahapan proses konversi, dari hutan gambut ke perkebunan.
Mengetahui jenis gas rumah kaca juga penting karena beberapa jenis gas lebih berbahaya bagi iklim ketimbang yang lainnya.
Sebagai contoh, nitro oksida (N2O), yang dihasilkan oleh bakteri di tanah, hampir 300 kali lebih membahayakan lingkungan dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2).
Setelah mendapatkan hasil pengukuran tersebut, kami menggunakan data satelit untuk menghitung berapa persen emisi gas rumah kaca dari kawasan Asia Tenggara yang berasal dari kegiatan di perkebunan kelapa sawit.
Hasilnya, total emisi gabungan dari dua negara, Malaysia dan Indonesia, antara 16,6% dan 27,9%, untuk perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut.
Angka tersebut setara dengan 0,44% hingga 0,74% dari emisi gas rumah kaca dunia per tahun.
Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca nasional, baik di Malaysia maupun di Indonesia, mengubah arah kebijakan terkait perubahan penggunaan lahan gambut menjadi langkah krusial yang patut dilakukan.
Penelitian kami juga menemukan kapan emisi gas rumah kaca lepas saat terjadi proses konversi. Hal ini belum pernah diketahui sebelumnya.
Data kami menunjukkan tingkat emisi gas rumah kaca tersebut tertinggi dihasilkan oleh kebun baru (sampai umur lima tahun) dengan pohon sawit muda, atau dua kali lipat dibandingkan dengan kebun lebih lama.
Hal ini disebabkan oleh lebih banyak makanan bagi mikroba saat lahan baru dikonversi.
Ketika kebun lama sudah banyak kehilangan nutrien dan carbon, maka mikroorganisme akan kekurangan makanan untuk diubah menjadi gas emisi rumah kaca.
Inilah kenapa kebun lama cenderung menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah ketimbang lahan yang baru dibuka.
Untuk mendapat perhitungan tepat dari emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan perkebunan, kami harus mengukur keseluruhan siklus hidup dari perkebunan atau kami tidak bisa menentukan kapan tingkat emisi tertinggi terjadi.
Perubahan hutan lain di seluruh dunia, hutan lain menjadi perkebunan sawit menyimpan risiko yang serius.
Potensi kontribusi dari kawasan ini kepada pemanasan global sangatlah besar – mungkin lebih besar dibandingkan dengan emisi industri penerbangan dunia.
Baca Juga: Gletser Pine Island di Antartika Runtuh, Populasi Penguin Terancam
Melarang aktivitas perkebunan di lahan gambut tropis akan menjadi langkah krusial, sebagai bagian dari mitigasi terhadap pemanasan iklim yang semakin cepat.
Namun, langkah ini tidak mudah. Sebagian besar masyarakat di sekitar hutan hidup dalam kemiskinan dan kebun sawit menjadi salah satu jalan mendapatkan penghasilan tambahan.
Ketika lahan gambut dibuka, butuh ribuan tahun bagi karbon agar bisa kembali tersimpan ke tanah, meski hutan sudah direstorasi.
Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Penulis: Sofie Sjogersten, Associate professor in Environmental Science, University of Nottingham
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR