Lasem, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Rembang, pernah menjadi pusat batik. Bahkan, di akhir abad ke-19, Lasem mengekspor produksinya ke Singapura, Myanmar, Malaysia, hingga Thailand.
Suami Kartini, yang merupakan Bupati Rembang, diketahui merupakan pemegang quality control terhadap batik Lasem. “Jadi, ketika membuat batik, yang melihat hasil akhirnya adalah suami beliau. Jadi ini satu gambaran yang sangat menarik tentang indahnya hubungan kolaborasi antara suami dan istri,” papar Didiet.
Baca Juga: Memahami Kepahlawanan Kartini Melalui Surat-suratnya
Dari era Kartini hingga sekarang, perkembangan batik Lasem mengalami pasang surut. Ia sempat mengalami masa kejayaan ketika naiknya permintaan terhadap Batik Tiga Negeri pada 1930-an. Kini, Kesengsem Lasem berusaha mendata para pengrajin batik dan melestarikan budaya ini.
“Di tengah pandemi, kami berusaha menyelamatkan para juragan batik. Juga membuka akses bagi para pembatik agar lebih dikenal di masyarakat,” kata Didiet. Di antaranya dengan mengembangkan situs Kesengsem Lasem sehingga bisa digunakan sebagai marketplace, kemudian membuat tur virtual berbayar tentang cara membuat batik serta menjelajahi museum Lasem. Hasilnya akan digunakan untuk membiayai kegiatan melestarikan batik Lasem.
“Dari pemikiran Kartini yang sudah sangat modern saat itu, istilahnya memiliki network yang sangat baik, itu merupakan satu inspirasi sehingga kami mencoba membantu dengan akses yang kami punya. Banyak semangat Kartini yang bisa diaplikasikan. Di Lasem sendiri, banyak pengarajin Batik perempuan yang memiliki integritas—menunjukkan bahwa mereka adalah Kartini-kartini modern,” pungkasnya.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR