Nationalgeographic.co.id - Kematian George Floyd (46) pada 25 Mei lalu, menandai satu bab lagi dalam sejarah panjang Amerika dan Minneapolis.
Floyd diketahui meninggal setelah seorang polisi kulit putih menginjak lehernya dengan lutut di persimpangan Minneapolis, terlihat pada sebuah video yang viral. Saat itu, kepolisian sedang menanggapi laporan penggunaan uang palsu dan mendekati Floyd.
Menurut laporan polisi di laman BBC Indonesia, Floyd diminta untuk menjauh dari kendaraanya dan secara fisik melawan petugas. Namun, ia mengalami tekanan dan tak lama kemudian berhenti bergerak. Ambulans pun membawanya ke rumah sakit, tapi nyawanya tak bisa diselamatkan.
Dilansir dari Time, video yang viral itu tidak cocok dengan pernyataan awal departemen kepolisian tentang apa yang terjadi. Akibatnya terjadi penembakan empat petugas polisi yang terlibat dalam penangkapan.
Baca Juga: Ketika Galileo Berdiri di Persidangan untuk Membela Sains Lawan Teolog
Ketegangan rasial di Minneapolis memang telah berlangsung lama. Pada tahun 2019, Minneapolis menjadi wilayah metro terburuk keempat di Amerika Serikat untuk warga kulit hitam Amerika, dan kota ini sangat tersegregasi. Tuduhan rasisme polisi juga menjadi masalah yang konsisten untuk kota ini.
Memahami bagaimana keadaan menjadi begitu tegang di Minneapolis membutuhkan pemahaman sejarah geografi rasial kota ini, kata Kirsten Delegard, seorang sejarawan dan direktur Mapping Prejudice.
Minneapolis sendiri diselimuti dengan 30.000 perjanjian rasial sejak 1910. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua tanah-tanah di sana tidak ditempati oleh orang nonkulit putih. Kota itu menjadi sangat tersegregasi. Bahkan lingkungan untuk orang nonkulit putih sangat kecil.
Lingkungan kecil itu termasuk dekat persimpangan 38th Street dan Chicago Avenue di Minneapolis, di mana petugas melututi Floyd dan di mana demonstrasi telah terjadi. Tepat di sebelah barat adalah pusat komersial lingkungan, Old South Side. Itu merupakan rumah bagi jurnalis, dokter dan pengacara Afrika-Amerika, presiden NAACP, gereja-gereja kulit hitam yang penting dan beberapa lahan tua.
"Seperti setiap lingkungan kulit hitam di Amerika Serikat, praktik kepolisian sangat berbeda dari lingkungan yang didominasi kulit putih," kata Delegard pada Time (28/05/2020).
"Di sana, cenderung ada banyak polisi dan banyak pedebatan tentang siapa yang bisa berada di ruang publik ini dan apa yang harus dilakukan oleh orang-orang tersebut," imbuhnya.
Baca Juga: Kisah Masyarakat Adat Amerika dalam Menghadapi Pandemi COVID-19
"Persimpangan penangkapan" tersebut merupakan salah satu sudut yang diatur oleh perjanjian rasial. Penelitian Delegard menunjukkan perjanjian-perjanjian ini sering diberlakukan di perbatasan lingkungan kulit hitam--dalam upaya untuk menahan populasi.
“Meskipun 38th Street dan Chicago saat ini tidak dipandang sebagai ruang kulit putih secara terang-terangan, apa yang ditunjukkan perjanjian-perjanjian ini adalah bahwa persimpangan ini selalu menjadi titik pertikaian. ‘Ruang ini milik siapa? Siapa yang ada di sini? Siapa yang tidak bisa berada di sini? Dan siapa yang akan menegakkan itu? Rasisme struktural benar-benar dimasukkan ke dalam geografi kota ini dan sebagai hasilnya ia benar-benar menembus setiap institusi di kota ini," pungkas Delegard.
Source | : | Time,BBC Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR