Nationalgeographic.co.id - Dengan menguatnya ketegangan ras, universitas-universitas yang dulu khusus kulit hitam kini mengalami lonjakan pendaftaran dan jenis aktivisme baru.
Saat ini musim semi mulai bersinggungan dengan tahap awal musim panas. Aroma truk makanan tercium semerbak sementara pedagang melingkari amfiteater. Mahasiswa berjalan-jalan di antara meja yang menjual kaos yang dihiasi kata-kata mencolok seperti “Respeck This Melanin,” poster aktivis Muhammad Ali dan Angela Davis, serta pajangan daur-ulang dengan warna tanah.
Hampir setiap pekan, mahasiswa dari Morehouse College, Spelman College, dan Clark Atlanta University—universitas khusus kulit hitam secara historis, yang terletak berdampingan dan membentuk Atlanta University Center (AUC)—berkumpul di kampus Spelman di barat daya Atlanta untuk membuka akhir pekan di acara yang dengan tepat dinamai Market Friday.
Baca Juga : Bentuk Diskriminasi, Penyetopan Mobil Warga Kulit Hitam di Amerika
Kisah-kisah tentang acara seperti ini tak pernah absen di meja makan di rumah saya. Ibu, saudari, bibi, dan istri saya semuanya dulu kuliah di Spelman. Ayah saya dan saudaranya dulu kuliah di Morehouse. Namun, mendengar tentang acara seperti itu sangat berbeda dengan mengalaminya sendiri.
Ini hari Market Friday terakhir semester ini, yang paling akhir untuk mahasiswa tingkat empat yang akan lulus. Market Friday memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk berkumpul di luar ruang kuliah dan asrama, serta bagi organisasi sosial huruf Yunani memamerkan koreografi tari dan stepping, pertunjukan yang biasanya hasil latihan berbulan-bulan. Sejarah organisasi mahasiswa ini berkaitan erat dengan layanan masyarakat dan perjuangan, sedangkan komunitas sosialnya adalah landasan untuk kegiatan tersebut.
Kelompok-kelompok tari naik panggung—kadang terpisah-pisah, kadang bersama-sama—dan menggerakkan tubuh dengan penuh semangat dan sinkronisasi yang luar biasa. Gerakan mereka tampak riang dan berapi-api saat menggeser kaki serentak di permukaan batu bata.
Sementara saya duduk di tengah mahasiswa, dentum lagu hip-hop favorit mereka tersebar ke seluruh kampus dan bercampur dengan tawa riuh—jenis tawa yang hanya muncul bersama sahabat pada Jumat sore.
Acara ini riang gembira, tetapi kehidupan banyak mahasiswa ini juga diwarnai semangat sipil dan politik setelah serangkaian insiden rasialis di kampus-kampus yang didominasi kulit putih, beberapa tahun yang terasa dipenuhi video pembunuhan lelaki-perempuan kulit hitam tak bersenjata oleh polisi, dan terpilihnya seorang presiden yang tindakannya menyuburkan kebencian rasialis. Sebelum mulai menjabat pun, Donald Trump berulang kali berusaha untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan presiden Amerika-Afrika yang berkuasa semasa kecil para mahasiswa ini, dengan mempertanyakan apakah Barack Obama lahir di Amerika Serikat.
Baca Juga : Meski Tampak Sederhana, Mengapa Kata 'Maaf' Sulit untuk Disampaikan?
Bagi banyak orang Amerika-Afrika dan ras lain, rangkaian peristiwa ini terasa mencengangkan dan melelahkan. Karena itulah, kegiatan menonton sekelompok mahasiswa kulit hitam menari dan tertawa menuruti musik pilihan mereka, dengan cara mereka, tanpa peduli pada siapa pun kecuali diri sendiri, merupakan jeda kecil yang melegakan.
Keriangan para mahasiswa ini ironis karena keberadaan universitas kulit hitam secara historis (historically black colleges and universities, HBCU) terkait erat dengan sejarah perbudakan dan Rekonstruksi. Sangat sedikit universitas kulit putih yang mau menerima mahasiswa kulit hitam setelah Perang Saudara AS berakhir pada 1865. Cara utama mahasiswa kulit hitam memperoleh pendidikan tinggi adalah dengan mendirikan universitas sendiri.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR