Rhym menggambarkan suatu perasaan yang telah diutarakan oleh mahasiswa kulit hitam sejak HBCU didirikan pada pertengahan abad ke-19. Salah seorang alumnus HBCU yang paling terpandang, W.E.B. Du Bois, menulis tentang penemuannya sendiri di Fisk University dalam bukunya Darkwater—perpaduan esai, puisi, dan renungan polemik multigenre.
Bagi Du Bois, yang lulus sebagai satu-satunya murid kulit hitam di angkatan SMA-nya di Great Barrington, Massachusetts, Fisk membukakan mata. Dia ingat bahwa tahun pertama masa kuliahnya di Fisk menandai pertama kali dalam hidupnya dia dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki pengalaman yang sama dengannya. Fisk memperluas pemahamannya tentang makna identitas kulit hitam di Amerika. Kulit hitam bukanlah, seperti yang disiratkan sebagian ilmuwan sosial masa itu, budaya yang homogen atau inferior. Ini komunitas yang hidup dan dinamis, berisi orang-orang yang pengalamannya beragam seperti warna kulit mereka.
“Bayangkan sejenak,” tulis Du Bois, “betapa ajaib semua itu bagi seorang pemuda tujuh belas tahun, yang baru terlepas dari lembah sempit… kaumku menari-nari di sekitarku… Para pemuda dengan pengalaman yang sama denganku dan berasal dari duniaku, yang tahu dan paham.”
pada agustus 2017 saya kembali ke Atlanta untuk menghadiri acara “For Whom the Bell Tolls,” bagian dari pekan orientasi mahasiswa baru yang secara resmi menyambut hampir 750 pemuda ke Morehouse.
Udaranya sejuk untuk pagi Agustus, masih agak hangat dengan udara lembap musim panas daerah selatan.
Baca Juga : Benarkah Kepribadian Akan Berubah Seiring Bertambahnya Umur?
Berpakaian kaus putih polos, celana pendek hitam, dan beragam sepatu lari warna-warni di depan Frederick Douglass Academic Resource Center, mahasiswa tingkat satu Morehouse berdiri dengan lengan saling bertaut, berayun kanan-kiri sambil menyanyikan himne Morehouse. Di anak tangga, para mahasiswa ada yang memegang obor yang menerangi area itu, ada pula yang bergerak di antara baris-baris mahasiswa baru yang bertautan.
“Saat kalian keluar, orang akan melihat Morehouse,” seru seorang mahasiswa tingkat atas yang memegang obor. “Mereka tidak hanya melihat dirimu. Jadi, kalian harus menuntut pertanggungjawaban saudara-saudaramu.”
Setelah himne dinyanyikan lagi dengan lebih lantang, para pemuda itu berlari menyambut pagi di belakang seorang mahasiswa tingkat atas yang membawa obor. Setiap beberapa menit mahasiswa beralih dari pos ke pos. Di setiap pos mereka belajar tentang sejarah, ritual, dan misi lelaki Morehouse.
Di salah satu pos, seorang mahasiswa tingkat atas yang mengenakan jas wol dan dasi merah tua berdiri di alas tinggi patung Martin Luther King, Jr., milik universitas itu, di depan kapel itu, dan berbicara lantang: “Warna kita mengintimidasi mereka, karena mereka takut pada lelaki kulit hitam yang berpendidikan.” Para mahasiswa baru menatapnya sementara dia bergerak di antara kedua kaki perunggu patung King. Dengan semangat khas pendeta Amerika bagian selatan, dia menyebut istilah pergerakan keadilan ras yang telah membentuk lanskap sosial dan budaya selama beberapa tahun terakhir: Angkat tangan, jangan tembak. Sebut namanya. Aku tak bisa bernapas. Nyawa kulit hitam itu penting.
Nilai penting Morehouse dan Spelman bukan hanya bahwa para mahasiswa ini mewakili Amerika kulit hitam terbaik, tetapi bahwa mereka mewakili keragaman Amerika kulit hitam. Ada mahasiswa yang semasa kecilnya merupakan satu-satunya murid kulit hitam di SD, SMP, dan SMA elite, ada pula yang masuk sekolah negeri di area pendapatan rendah.
Ada mahasiswa evangelis konservatif yang sulit menerima homoseksualitas, ada pula mahasiswa transgender yang memperluas batas gender dan seksualitas ke arah baru. Ada mahasiswa dengan sikap politik radikal—yang menganjurkan penghapusan penjara, polisi, dan kapitalisme. Ada mahasiswa yang merupakan generasi ketiga di keluarganya yang kuliah di universitas seperti ini dan berencana bekerja di bidang keuangan.
Tidak ada istilah ini khas “lelaki Morehouse” atau itu khas “perempuan Spelman”. Yang ada adalah beragam mahasiswa yang menentukan sendiri apa yang akan dipetik dari pengalaman mereka. Para mahasiswa ini tumbuh dewasa pada masa ketika keterlibatan politik kembali bergairah dan mereka berusaha memahami diri mereka sebagai kaum muda kulit hitam di dunia yang sedang berubah. “Dalam pergerakan hak sipil dulu, perempuan Spelman dan lelaki Morehouse ada di garis depan,” kata Campbell, rektor Spelman. “Sepanjang sejarah, HBCU telah merombak narasi tentang kaum kulit hitam.”
Baca Juga : Greenland Bisa Jadi Tambang Pasir Jika Lapisan Es Terus Mencair
Saya sendiri tidak kuliah di universitas kulit hitam historis, tetapi saya keturunan dari Spelman dan Morehouse. Saya kuliah di universitas seni liberal kecil, sebagai salah satu dari dua belas lelaki kulit hitam di angkatan saya. Saya pernah menjadi atlet Divisi I. Saya menulis untuk koran sekolah. Saya menjalin persahabatan kekal.
Namun, saya selalu tahu bahwa ada pengalaman yang tidak saya dapatkan, bahwa ada yang unik dalam HBCU yang tidak dapat ditiru di tempat lain. Saya merenungkan rasa bangga orang tua saya. Saya sudah dihiasi pernak-pernik Morehouse putih-merah tua sejak kecil. Saya sering mendengar orang tua saya tertawa dengan cara yang tak pernah terdengar, ketika teman kuliah mereka makan malam di rumah kami. Ada kebahagiaan yang berbeda. Pengalaman universitas kulit hitam historis menegaskan bahwa mereka bagian dari sesuatu, suatu tempat dan kaum yang layak dirayakan.
Penulis : Clint Smith
Fotografer : Nina Robinson Dan Radcliffe “Ruddy” Roye
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR