Nationalgeographic.co.id - Saat musim dingin tiba, banyak penyu laut akan bersarang di pantai utara Australia.
Ketika tukik-tukik menetas saat malam hari, mereka menggunakan cahaya alami dan kelandaian pantai sebagai pemandu alami untuk merangkak dari pasir ke laut.
Tapi, ketika cahaya buatan mengalahkan terang bulan dan laut, mereka menjadi kehilangan arah. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap predator, kelelahan, dan bahkan lalu lintas kendaraan ketika mereka mengambil jalan yang keliru.
Baca Juga: Saat Wabah Kolera Picu Pemerintah untuk Membangun Ruang Terbuka Hijau
Cerita tukik ini merupakan bagian kecil dari masalah lebih besar, tapi terlupakan, tentang bagaimana polusi cahaya berbahaya bagi satwa liar baik di daratan dan bawah laut.
Saat ini, lebih dari 80% manusia - dan 99% populasi Amerika Utara dan Eropa - tinggal di bawah langit yang terkena polusi cahaya.
Kita telah mengubah lingkungan saat malam hari demi bagian substansial dari permukaan Bumi untuk waktu singkat, dibandingkan dengan skala waktu evolusioner. Kebanyakan satwa liar tidak memiliki waktu untuk beradaptasi dengan perubahan ini.
Bulan Januari, Australia merilis panduan terkait polusi cahaya bagi satwa liar yaitu National Light Pollution Guidelines for Wildlife.
Panduan ini menyediakan kerangka kerja untuk mempelajari dan mengelola dampak dari cahaya buatan.
Selain itu, panduan ini mengidentifikasi solusi praktis yang bisa digunakan untuk kelola polusi cahaya secara global, bagi pengelola dan praktisi, dan siapapun yang memiliki akses pada tombol lampu.
Ada enam cara mudah dalam panduan ini yang bisa diikuti oleh siapa saja untuk meminimalisir polusi cahaya tanpa mengorbankan keselamatan kita.
Meskipun polusi cahaya merupakan masalah global dan kegelapan total sulit untuk diterima, kita masih bisa memegang peran untuk mengurangi dampak terhadap satwa liar dengan mengubah cara kita menggunakan atau berpkir tentang cahaya di malam hari.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR