Oleh: Feri Latief
Nationalgeographic.co.id - “Kamu yang terakhir yang ku cinta,” begitu senandung artis kawakan Vina Panduwinata mengakhiri lagu “Aku Makin Cinta” dalam Konser 7 Ruang, di studio DSS Music, Jakarta (21/06/2020).
Tak ada tepuk tangan riuh dari banyak penonton, hanya dari beberapa orang saja, yakni para teknisi yang membantu konser. Itulah konser musik di era pandemi, saat pembatasan sosial diberlakukan. Tidak boleh ada kumpulan manusia dan harus menjaga jarak. Konser musik konvensional pun tidak bisa dilakukan lagi.
Konser 7 Ruang adalah tayangan langsung musik menggunakan platform media sosial Youtube. Biduan dan pemain musiknya tidak berdekatan untuk tampil, tapi berjauhan di ruangan yang berbeda tiap orangnya.
Baca Juga: Mengenang Jasa Pramono Edhie Wibowo Atas Pendakian Everest 1997
Konser online ini dimulai sejak pandemi melanda Indonesia. Sebelumnya, di bulan Maret 2020, saat pandemic virus corona sedang berada di puncaknya di Italia, seorang remaja 19 tahun melakukan konser gitar tunggal dari balkon kediamannya. Suara lengkingan solo gitarnya membahana lewat pengeras suara di udara kawasan Piazza atau Plaza Novona di kota Roma yang lengang karena karantina.
Jacopo Mastrangelo adalah yang memainkan gitar dari balkon tempat tinggalnya yang menghadap ke plaza terkenal itu. Ia memainkan lagu Deborah yang menjadi tema lagu film ‘Once Upon a Time I America’ gubahan pemusik Italia legendaris peraih Oscar, Ennio Morricone. Suara dawai gitarnya begitu menyayat hati, seperti mewakili perasaan warga Itali yang berduka.
Saat lagu selesai, sontak tepuk tangan riuh terdengar dari tetangga-tetangga gedung yang tek terlihat dalam kamera dan seorang di plaza yang menjadi pendengar setianya. Dibantu ayahnya, Jacopo merekam permainan gitarnya dan mulai menayangkan di halaman media sosialnya. Dalam waktu 24 jam, lagu Deborah-nya dibagikan lebih dari 10.000 orang dan ditonton lebih dari 40 juta orang. Video panggung musiknya viral.
Pentas dari balkon rumahnya menyatukan Italia. Ia dianggap mewakili perlawanan Italia terhadap pandemi. Di sisi lain, apa yang dilakukan adalah menghadirkan panggung baru hiburan di era pandemi. Saat pembatasan sosial yg menjadi syarat, pentas lewat platform dunia maya menjadi solusi. Dan tayangan langsung musik online merebak saat pandemi, bak jamur di musim hujan.
Menurut Aldo Sianturi, konsultan bisnis musik, tayangan langung di platform media sosial adalah satu-satunya solusi saat pandemi. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan pekerja seni untuk tetap aktif pentas dan berkarya. “Mau main di tempat atau di kafe masih tutup kan? Mau musisi yang punya album atau tidak nasibnya sama. Jadi the only way hanya live streaming show!” tegasnya.
Aldo yang sudah lama malang-melintang di bisnis musik ini menjelaskan masalah yang dihadapi tayangan langsung musik online. Menurutnya tidak semudah yang terlihat. “Kendala pertama, internet di Indonesia yang belum stabil. Lalu tidak memiliki equipment yang memadai, harus ada pengeluaran lagi. Sementara yang harus dilakukan di era pandemi ini adalah LBHI, low budget high impact. Karena mencari uangnya itu bukan dari sponsor tapi dari donasi atau saweran warga,” paparnya.
Syarat equipment yang memadai itu yang dimiliki studio DSS Music. Konser online Vina Panduwinata kemarin adalah episode ke-20. Selain peratan yang memadai, studio ini merupakan tiga rumah yang digabung, memiliki banyak ruang sehingga sangat memungkinkan untuk membuat konser online dengan tetap mengikuti protokol pandemi-- yaitu menjaga jarak satu dengan yang lain.
“Dengan demikian kita bisa bikin koneksi kabel audio dan video yang tidak ada delay sama sekali. Seperti dalam satu gedung konser,” jelas Agi Anggadarma selaku penanggung jawab teknis.
Saat menonton Konser 7 Ruang, kualitas suara dan gambarnya sama seperti tayangan di televisi. Bahkan banyak penonton di media sosial yang memberi jempol untuk kualitas suaranya. Ide konser virtualnya sendiri muncul secara tak sengaja karena dihadapkan pada pandemi. Para pekerja seni kehilangan mata pencaharian, maka dipikirkan bagaimana supaya masih bisa tetap berkarya. Akhirnya terbentuklah Konser 7 Ruang ini, dengan tetap menjunjung protokoler Covid-19.
“Jadi sebenarnya kita buat Konser 7 Ruang ini untuk membantu para musisi dan pekerja seni yang terdampak. Pekerja seni itu ada tim produksi, termasuk kamera, lighting dan yang lainnya,” jelas Rozi Fathoni selaku penanggung jawab keuangan studio DSS Music.
Untuk pembiayaan konser dibuatlah sistem donasi terbuka. Siapa pun bisa berdonasi untuk membiayai pekerja seni. Konser Vina Panduwinata kemarin berhasil mengumpulkan donasi sampai lebih dari 120 juta rupiah--memecahkan rekor konser biduan Ruth Sahanaya seminggu sebelumnya, yang berhasil mengumpulkan donasi di atas 100 juta rupiah.
Angka tersebut di era normal hanya cukup untuk membayar honor satu artis saja di luar aspek pendukungnya. Namun, di era pandemi, artis-artis rela menyumbangkan keahliannya demi keberlangsungan hidup para pekerja seni.
“Kita dealing dengan artis-artis yang mau bergabung. Artis-artisnya mau ikut dengan sukarela,” jelas Gya Anandini Hardono penanggung jawab pemasaran yang juga merupakan anak pemilik studio DSS Music.
Siapa pun boleh bergabung untuk konser. “Sebanyak berapa pun donasi yang diterima, setengahnya untuk para artis dan setengahnya untuk pekerja seni dan tim produksi,” lanjut Gya lagi.
Seperti yang dikatakan Aldo Sianturi sebelumnya, konser online harus berbiaya rendah dengan dampak yang besar. Konser online Vina kemarin berhasil menjaring lebih dari 3600 penonton selama tayangan langsung. Beruntung studio DSS Music tidak perlu menambah pengeluaran untuk alat produksi tayangan langsung online.
Konser tayangan langsung online ternyata bisa menghasilkan uang, ini membuka peluang ke depannya untuk menjual konser online. Aldo Sianturi menunjukan tayangan langsung di Youtube, berupa konser lagu-lagu daerah Sumsatera Utara yang dilakukan para musisi dan penyanyi Parsadaan Anak Boru Bere Raja Simatupang (PABRS) berhasil mengumpulkan donasi 50 juta rupiah dalam beberapa jam.
Meski begitu, ia menyatakan kondisi pasar saat ini sedang mengencangkan ikat pinggang. Mereka memilih artis mana yang ingin mereka sawer. Sosok sang artis berperan untuk mengumpulkan banyak saweran atau donasi. Ia memprediksi setelah pandemi, konser konvensional tetap berlangsung, tapi juga bisa menjual tayangan langsungnya ke orang yang tak bisa datang ke konser.
Suatu saat tak perlu pergi ke Singapore atau Australia untuk menonton konser musisi internasional. Anda cukup membayar dan bisa menonton tayangan langsung lewat gawai dari mana saja, istilahnya pay per view.
Hal ini ternyata sudah dilakukan di Indonesia. Musisi Indra Lesma dan Dewa Bujana pada 30 April 2020 kemarin, untuk pertama kalinya melakukan tayangan langsung online yang mereka sebut Realtime Remote Live Collaboration. Permainan musik live dari dua (atau lebih) musisi antar wilayah yang ditayangkan secara live internet broadcast yang dapat diakses melalui pembelian tiket. Penyelenggaranya adalah Loketdotcom. Penonton yang membayar akan diberi e-voucher yang berisi link untuk akses tayangan langsungnya.
Baca Juga: Normal Baru, Bisnis Ada Saat Pertumbuhan Lambat dan Sulit Cari Pembeli
Ke depannya, akan ada banyak pemain yang menjual panggung musik daring. Itu sudah diprediksi Aldo dan Gya Hardono. Untuk menguatkan daya saing, Gya memberi kekhasan pada konser tayangan langsung di studionya. “Sistem kita intimate concert, penonton bisa chatting dengan artisnya. Jadi kaya tempat ngobrol lah. Jadi misalnya penonton menulis dijawab langsung sama Vina Panduwinata. Wah, ini artis idola saya menyebut nama saya. Akhirnya mereka berdonasi,” jelas Gya.
Lewat obrolan online itu penonton juga bisa meminta bahkan melelang lagu untuk dinyayikan oleh sang artis idolanya. Keintiman ini yang dijadikan cirinya. Ke depannya akan banyak pemain yang menjual konser tayangan langsung dengan cirinya masing-masing. Pandemi membuka ruang untuk berinovasi.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR