Nationalgeographic.co.id - Tema aekeologi merupakan tema yang memikat audiens National Geographic Indonesia baik di majalah maupun daring.
Kilas balik ke belakang, tepatnya 15 tahun yang lalu, para arkeolog menyingkap kisah Hobbit di Flores. Yakni rangka manusia purba berukuran kate bernama Homo Floresiensis—atau kerap dijuluki Mama Flo karena berasal dari Flores dan berjenis kelamin perempuan. Kisahnya ditampilkan di halaman utama edisi perdana majalah National Geographic Indonesia pada April 2005.
Edisi tersebut merupakan kegegeran berganda menurut Mahandis Yoanata Thamrin selaku Managing Editor National Geographic Indonesia.
"Majalah ini menggegerkan Indonesia pada penerbitanya saat itu. Geger karena temuan ilmuwan sejagat. Sampai sekarang pasti banyak dinamikanya. Kita juga bertanya tanya apakah kedatangan manusia moderen menyebabkan punahnya manusia Hobbit ini?" ucapnya.
Bincang Redaksi 11 bertajuk Kabar Terakhir Manusia Katai Dari Flores menghadirkan dua arkeolog Indonesia papan atas, yang mana pada 2014, arkeolog tersebut masuk dalam ilmuwan berpengaruh menurut Reuters.
Kedua Arkeolog itu ialah Jatmiko, Peneliti Utama Puslit Arkenas dan Thomas Sutikna, Peneliti di Centre of Excellence for Australian Biodiversity and Heritage University of Wollonggong.
Baca Juga: Surat Gandhi Kepada Hitler Tentang Perdamaian Tak Pernah Sampai
Sejak ditemukan, Homo floresiensis menimbulkan polemik dan perbedatan yang panjang, ujar Jatmiko. Sebab, situs ini masih menyimpan seribu misteri kehidupan masa lalu.
Sejak 1965, situs Liang Bua, tempat ditemukannya Mama Flo sudah ada jejak penelitian yang diawali oleh Pastur Verhoeven, seorang seminaris yang tinggal di Flores tengah.
Mulanya ia mendengar terdapat sebuah goa yang dipakai menjadi sekolah pada tahun 1946-1949. Karena penasaran, ia meninjau pada tahun 1950. Lalu ia melihat di sekitar permukaan terdapat batu gerabah yang dipakai anak-anak sekolah.
Kemudian Verhoeven kembali lagi pada 1965 untuk mencoba uji coba penggalian. dia mendapatkan rangka manusia yang dikubur secara utuh. disitu dia lihat ada kendi, ada kapak perunggu, manik manik, ada tujuh individu.dan manusianya dari homo sapiens yang kehidupanya awal abad masehi, atau paleometalik sampai neolotik.
Kemudian pada 1978, 1981, sampai 1989 penelitian diambil alih oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Baca Juga: Mitos Penemuan Api dalam Budaya Tutur Warga Lewolema, Flores Timur
Di Liang Bua sejak 1989, Puslit Arkenas sudah melakukan proses penggalian sebanyak 37 kotak berukuran 2x2 dan 4x4 meter. Kedalaman terakhir hampir mencapai 11 meter.
Pada salah satu temuan di kedalaman lebih dari 5 meter, ditemukan fauna Flores seperti stegodon florensis insularis, komodo, dan marabou stork.
Lalu kemudian pada kedalaman hampir 6 meter ditemukan Homo Floresiensis dengan tengkorak yang berukuran jeruk bali.
"Jadi volume otaknya kecil sekitar 400 cc dibanding manusia sekarang mencapai 1300 cc. Namun diduga manusia ini sangat cerdik. Tinggi badanya 106 cm. Mereka bukan cebol tapi proposional," ucap Jatmiko.
Hasil penelitian menemukan bahwa mama flo berumur 25 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Ini dinilai berdasarkan temuan tulang pinggulnya.
Di sisi lain, Thomas mengemukakan bahwa penemuan di Liang Bua pada 2003 menjadi sorotan karena mempunyai karakteristik dan anatomi yang sangat unik. Melalui penemuan peralatan batu yang canggih pada 18.000 tahun yang lalu. Penelitian di Liang Bua masih berlanjut hingga sekarang.
"17 tahun telah berlalu dan kami telah belajar banyak tentang Liang bua, pada kenyataanya tidak semua yang kita pelajari itu menduukung dan cocok dengan apa yang kami pikirikan. Karakteristik batu, Homo Floresiensis, dan bagaimana kemungkinan ia mengenal api. Dan isu tentang kapan si manusia moderen awal menjejakan kaki di flores." kata Thomas.
Sejak ekskavasi diperluas pada 2007 ternyata banyak hal penting yang berkenaan dengan kompleksitas dari Liang bua. Temuan itu semakin jelas dari revisi stratigrafi publikasi.
"Pada 2016 kita meperbaiki stratigrafi dan kronologi, yang Kita perbaiki ialah kunci stratigrafi. Di Liang Bua ada 8 tefra yang berbeda. Pertanggalan radio karbon terhadap sampel arang berumur 13.000-20.000 tahun lalu, yang awalnya mengandung lapisan homo floresiensis. Sejak saat itu kita mengesktens penggalian. Sehingga jelas, itu tidak sesuai dengan umur Homo Floresiensis sebenarnya. Tulang tulang itu berasal dari lapisan di bawah tefra satu berumur 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu," tutur Thomas.
Namun ada rentang waktu krusial yakni 50.000 hingga 12.000 tahun yang lalu karena tidak ada penemuan Homo Floresiensis dan fauna. Hal ini membutuhkan analisis lanjutan terkait mikromorfologi. Terkait statigrafi yang menjadi jedah antara penemuan manusia moderen dengan Homo Floresiensis.
Baca Juga: Proses Panjang Pembuatan Moke yang Jadi Simbol Persaudaraan di Flores
"Dari stratigrafi 41.000 hingga 24.000 tahun yang lalu ada bukti perapian. Dan tidak ada satupun di lapisan Homo Floresiensis ada pembakaran," lanjutnya.
Mengenai Liag Bua dan Homo Floresiensis, Jatmiko mengatakan bahwa dilihat dari artefak batu yang melimpah, Homo Floresiensis tidak hanya singgah di sana tetapi sudah menetap lama.
"Kalau kita melihat dari data artefak batu itu sangat melimpah, dalam konteks Homo Florensiensis, kalau singga saja dia nggak mungkin membuat alat sebanyak itu. Kemudian yang kedua saya jadi teringat anekedot dari Mathew, Liang Bua bukan rumah Hobbit tapi rumahnya tikus, karena tikus mendiami Liang Bua bahkan sebelum Homo Floresiensis." Namun, soal bagaiamana ia berukuran kate masih belum terungkap.
Pada penutup acara, Mahandis mengatakan perlunya penelitian lanjutan terkait Mama Flo.
"Harapan kita terkait penelitian akan banyak penelitian yang bergabung. untuk menyingkap lebih dalam siapa homo florensiensis. apakah dia kate dari bawaan atau pengkatean dari lingkungan. diskusi saat ini kita bisa memberikan ruang di berbagai platform mengenai pendekatan sains populer."
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR