Semua sesajen itu diarak keliling dusun, warga menyebutnya sebagai Kirab Sesaji Jajah Deso. Arak-arakan itu tetap dengan protokol pagebluk, yaitu menjaga jarak tiap pesertanya. Setiap regu kesenian yang ikut diatur jaraknya, tidak berdekatan, dan wajib mengenakan masker.
“Kita tidak bisa meninggalkan upacara adat ini, karena kalau kami meninggalkan upacara adat, kami memutus mata rantai budaya yang ada di dusun kami," tegas Sutopo. "Kami khawatir ke depan mungkin akan hilang salah satu budaya di bumi Nusantara ini."
Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara
Selama sebulan Sutopo melakukan sosialisasi kepada warga dan semua pelaku kesenian yang terlibat harus mengenakan masker. Ia juga menyiapkan air mengalir dan sabun di titik-titik dusun untuk warga mencuci tangan.
Kirab berakhir di mata air Kali Ringin, yang dipercaya warga dusun sebagai cikal bakal dusun yang ada di kaki Gunung Sumbing tersebut.
“Kenapa puncak upacara di sendang atau sumber air Kali Ringin ini?" ujar Sutopo beretorika. "Karena kami menyakini betul bahwa air itu sumber penghidupan masyarakat.”
Baca Juga: Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'
Di mata air yang sudah dibangun menjadi bangunan kecil itu semua sesajen didoakan sebelum disantap warga bersama-sama. Doaya menyertakan 13 permohonan kepada kepada Tuhan. Antara lain, mereka memohon keselamatan dan diberi kelimpahan sumber air. Selain itu mereka memohon agar pertanian tembakau warga bisa tumbuh subur dan menjadi rezeki yang berkah. Yang terakhir, warga dusun memohon agar pagebluk ini segera berakhir.
Di pinggang Gunung Sumbing, warga dusun mencontohkan bahwa upacara adat tetap bisa digelar dengan khidmat. Budaya tetap bisa berkembang, bahkan seiring dan sejalan dengan protokol kesehatan yang disyaratkan.
Baca Juga: Bertualang ke Pasar Zaman Mataram Kuno. Adakah Tradisi yang Berlanjut?
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR