Shinatria Adhityatama, Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, berkata, "Danau Matano visibility-nya sangat bagus. Airnya sangat jernih sampai ke artefak yang tersebar di pedalaman danau," katanya.
Mengapa Danau Matano menarik penelitian arkeologi? awal masa logam lah alasanya. Banyak hipotesis dari peneliti terdahulu bahwa kita bisa membangung monumental karena menemukan peralatan yang bisa membangun peradaban. Salah satunya adalah besi yang memiliki kualitas dan kekerasan tertentu.
"Kita menemukan banyak clue di La Galigo dan Negarakertagama bahwa daerah Luwu atau Danau Matano menghasilkan besi yang kualitasnya baik. Komoditas ini cukup langka di Nusantara pada masa lalu," kata Reza.
Survei pada 2016 dan 2018 menghasilkan temuan lima situs arkeologi bawah air seperti di Pulau Ampat, Pontada, Sebengkuro, Onetengka, dan Sukoiyo.
Rata-rata kedalamanya 3-15 meter dari permukaan danau. Kebanyakan temuan berupa tembikar, serpih, tulang, arang, logam, dan fragmen yang tersebar. Gambaranya seperti lapangan luas di dasar danau.
Penelitian memungkinkan bahwa penduduk yang dahulu berada di Situs Sebengkuro letaknya tidak jauh dari danau. Banyak ditemukan tinggalan tembikar dengan priuk dan kakinya di sana.
Pada Situs Onetengka atau para peneliti penyebutnya dengan tanah yang terangkat ditemukan, perahu dengan log pohon dengan panjang 7 m lebar 37 cm. "Teknologi ini cukup tua," kata Shinatria. Walaupun sampai saat ini, belum ada penelitian lanjut untuk pertanggalan dan spesies kayunya. Perahu ini masih digunakan sampai masa kolonial. Ditemukan kurang lebih di kedalaman 9 meter.
Kemudian, ada Situs Sukoiyo, yang dikenal sebagai situs kampung tua menurut masyarakat dan tetua di Danau Matano. Pecahan tembikar dan gigi binatang banyak ditemukan di sana. Juga ada priuk yang berisi arang dengan kerak besi dengan kedalaman 20 meter. Para peneliti mengungkap, itu kemungkinan merupakan hasil peleburan di zaman besi lalu.
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR