“Saya juga akan menceritakan keluarga kami di masa transisi ketika kekuasaan Belanda digantikan Jepang,” imbuhnya. “Selain itu, saya juga akan urun rembug dalam pelestarian kuliner tumpeng di ranah publik.”
Alur kisah citarasa itu ditentukan oleh sejarah, kebudayaan, politik, dan geografi. Ary Budiyanto, Antropolog di Universitas Brawijaya, Malang, mengungkapkan bahwa setiap santapan memiliki kisahnya yang unik. Setiap santapan memiliki makna personal.
“Muncul dan punahnya kebudayaan berawal dan diakhiri dari makanan,” kata Ary. “Perjalanan mencari rempah yang melahirkan kolonialisme juga berawal dari dapur dan piring saji bangsa Barat yang terpikat citarasa Timur.”
Dia menambahkan bahwa perdagangan, peperangan, perundingan, dan permufakatan selalu dimulai dan selesai di meja makan. Berawal dari dapur, makanan disajikan untuk persembahan di kuil. Dari dapur pula, santapan memperingati kehidupan, mengenang yang telah hilang, berdiplomasi dengan kawan dan lawan, hingga mengokohkan status diri. “Inilah yang menjadikan makanan sebagai jantung dari suatu kebudayaan,” papar Ary.
“Sangat menarik bila melihat dunia keluarga priyayi di luar keraton yang mengalami masa transisi kolonial-kemerdekaan dari dunia kulinarinya,” imbuh Ary. “Perbincangan yang membawa pada dunia kehidupan masa lalu dan kini bahkan melampui dapur dan sajiannya.”
Sementara itu Esthi Susanti Hudiono mengungkapkan, “Raden Ayu Koes Dwayati Soegondo adalah mutiara yang masih ada di dasar samudera.” Dia menambahkan, “Sebenarnya kalau kita mau telusuri maka kita akan menemukan otonominya dalam pengembangan karya tradisi di bidang kuliner tumpeng."
Esthi merupakan pemerhati budaya, sekaligus Kepala Biro Pengembangan dan Mobilisasi Sumber Daya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga. Menurutnya, sosok Ayu dengan karya domestik yang ditekuninya, seolah menjadi penerus tradisi perempuan bangsawan Jawa. Lingkupnya tidak sekadar seputar kuliner, tetapi juga kecantikan dan seksualitas.
“Warna kosmopolitan pada kuliner yang dikuasai [Ayu] memungkinkan menjadi masuk ke rasa globalisasi,” ujarnya. Dia menambahkan bahwa kuliner Nusantara seharusnya menjadi makanan keseharian yang ada di kedai-kedai kopi kekinian, pusat-pusat perbelanjaan, rumah makan hingga warung. “Kuliner tak hanya terbatas konsumsi pariwisata namun jadi bagian dari proses menjadi bangsa.”
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Mari berakhir pekan sembari mencicip cerita santapan dan ritus yang menyertai keluarga bangsawan Jawa. Seberapa banyak tradisi kuliner yang tak lagi hadir di meja makan kita?
Simak Bincang Redaksi-22 “Racikan Bersantap Keluarga Bupati Jawa Masa Hindia Belanda” pada Sabtu, 22 Oktober 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB via aplikasi ZOOM. Sederet narasumber yang akan berkisah:
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR