Nationalgeographic.co.id—Setiap racikan masakan boleh jadi mewakili riwayat sebuah kota atau keluarga.
Pada akhir abad ke-19, terdapat salah satu racikan lauk papan atas yang tersaji di meja makan Bupati Pasuruan. Resepnya berasal dari istri Kapitan Tionghoa di kota itu. Nama masakan itu belatung ayam. Cara membuatnya, ayam dimasukkan dalam bumbu selama sepuluh hari sampai muncul belatung.
Kita mungkin bergidik saat membaca nama dan bagaimana sang peracik membuatnya. Namun, saat itu lauk belatung ayam menjadi salah satu sajian lezat untuk kalangan terhormat.
Rasa adalah bagian dari petualangan. Informasi rasa yang mampu didefinisikan indera pencecap kita telah dibentuk dari pengalaman dan petualangan sepanjang sejarah evolusi manusia. Apabila evolusi manusia itu soal waktu dan kebiasaan, rasa pun telah menjadi bagian perjalanan waktu.
Setiap keluarga memiliki citarasa yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Di sinilah peran sang peracik sebagai pembawa pesan tradisi untuk generasi berikutnya. Ada kalanya, rasa pun menjadi perkara sakral karena terkait tradisi keluarga.
Baca Juga: Pesjati, Takdir Balita Penyintas Pagebluk Pes di Hindia Belanda
Para Bupati biasa menggelar santap bersama dengan para kerabat besar, residen dan opsir Tionghoa. Demi menghormati ragam tetamu, santap bersama akan menyajikan beragam racikan masakan. Bagaimana racikan menu bersantap yang hadir di meja keluarga Bupati pada zaman Hindia Belanda?
“Melalui Bincang Redaksi ini saya berbagi mengenai pengetahuan budaya kuliner yang ada dalam keluarga kami berikut ritusnya,” kata Raden Ayu Koes Dwayati Soegondo Coleman.
Mevrouw Ayu, demikian sapaan akrabnya, adalah cucu K.R.M.A.A. Harjo Soegondo, Bupati Pasuruan yang menjabat pada periode 1883-1902. Dia juga merupakan keturunan wangsa Mangkunegara IV.
Tradisi di keluarganya memiliki perbedaan dengan keluarga yang hidup di dalam lingkungan Pura Mangkunegaran. Sebagai contoh keterampilan eyang putrinya, yang bernama R.Ay. Siti Arminah—istri Bupati Wonogiri Djajawirana yang kemudian menjadi Patih Pasuruan. “Eyang putri saya memiliki segudang keterampilan seperti memasak, menggowok ayam, bahkan memberi jamu untuk kuda,” ungkap Mevrouw Ayu.
Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda
“Saya juga akan menceritakan keluarga kami di masa transisi ketika kekuasaan Belanda digantikan Jepang,” imbuhnya. “Selain itu, saya juga akan urun rembug dalam pelestarian kuliner tumpeng di ranah publik.”
Alur kisah citarasa itu ditentukan oleh sejarah, kebudayaan, politik, dan geografi. Ary Budiyanto, Antropolog di Universitas Brawijaya, Malang, mengungkapkan bahwa setiap santapan memiliki kisahnya yang unik. Setiap santapan memiliki makna personal.
“Muncul dan punahnya kebudayaan berawal dan diakhiri dari makanan,” kata Ary. “Perjalanan mencari rempah yang melahirkan kolonialisme juga berawal dari dapur dan piring saji bangsa Barat yang terpikat citarasa Timur.”
Dia menambahkan bahwa perdagangan, peperangan, perundingan, dan permufakatan selalu dimulai dan selesai di meja makan. Berawal dari dapur, makanan disajikan untuk persembahan di kuil. Dari dapur pula, santapan memperingati kehidupan, mengenang yang telah hilang, berdiplomasi dengan kawan dan lawan, hingga mengokohkan status diri. “Inilah yang menjadikan makanan sebagai jantung dari suatu kebudayaan,” papar Ary.
“Sangat menarik bila melihat dunia keluarga priyayi di luar keraton yang mengalami masa transisi kolonial-kemerdekaan dari dunia kulinarinya,” imbuh Ary. “Perbincangan yang membawa pada dunia kehidupan masa lalu dan kini bahkan melampui dapur dan sajiannya.”
Sementara itu Esthi Susanti Hudiono mengungkapkan, “Raden Ayu Koes Dwayati Soegondo adalah mutiara yang masih ada di dasar samudera.” Dia menambahkan, “Sebenarnya kalau kita mau telusuri maka kita akan menemukan otonominya dalam pengembangan karya tradisi di bidang kuliner tumpeng."
Esthi merupakan pemerhati budaya, sekaligus Kepala Biro Pengembangan dan Mobilisasi Sumber Daya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga. Menurutnya, sosok Ayu dengan karya domestik yang ditekuninya, seolah menjadi penerus tradisi perempuan bangsawan Jawa. Lingkupnya tidak sekadar seputar kuliner, tetapi juga kecantikan dan seksualitas.
“Warna kosmopolitan pada kuliner yang dikuasai [Ayu] memungkinkan menjadi masuk ke rasa globalisasi,” ujarnya. Dia menambahkan bahwa kuliner Nusantara seharusnya menjadi makanan keseharian yang ada di kedai-kedai kopi kekinian, pusat-pusat perbelanjaan, rumah makan hingga warung. “Kuliner tak hanya terbatas konsumsi pariwisata namun jadi bagian dari proses menjadi bangsa.”
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Mari berakhir pekan sembari mencicip cerita santapan dan ritus yang menyertai keluarga bangsawan Jawa. Seberapa banyak tradisi kuliner yang tak lagi hadir di meja makan kita?
Simak Bincang Redaksi-22 “Racikan Bersantap Keluarga Bupati Jawa Masa Hindia Belanda” pada Sabtu, 22 Oktober 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB via aplikasi ZOOM. Sederet narasumber yang akan berkisah:
Raden Ayu Koes Dwayati Soegondo Coleman—Cucu K.R.M.A.A. Harjo Soegondo, Bupati Pasuruan yang menjabat pada periode 1883-1902.
Ary Budiyanto—Antropolog di Universitas Brawijaya, Malang
Esthi Susanti Hudiono—Pemerhati Budaya, Kepala Biro Pengembangan dan Mobilisasi Sumber Daya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga
Kami menerbitkan sertifikat elektronik bagi peserta diskusi. Tersedia tiga paket langganan majalah National Geographic Indonesia selama setahun bagi tiga penanya terbaik.
Silakan mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi-22 untuk menyimak diskusi daring ini. Bincang Redaksi ini terselenggara berkat kerja sama National Geographic Indonesia, Universitas Kristen Satya Wacana, dan Himpunan Kerabat Mangkunegaran. Program ini menjadi bagian peringatan delapan windu kiprah UKSW dalam pendidikan dan pencerahan di Indonesia.
Bersantap tidak sekadar memuaskan lidah dan perut, tetapi juga tentang kesadaran budaya tentang siapa sejatinya kita. Lalu, apa yang terjadi apabila menu-menu tradisi hilang dari meja makan kita?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR