Maka dibuatlah sikuen-sikuen tarian yang dimulai dengan munculnya peradaban manusia. Sembilan penari perempuan ditampilkan sebagai bidadari dari kahyangan yang menyambut kelahiran sepasang anak manusia.
Mengenakan gaun putih yang didesain menyerupai sayap malaikat mereka mengepak ke sana kemari bercengkrama bersama sepasang anak manusia yang terlahir di Bumi.
Selanjutnya sisi utara kawasan, di halaman Brahma, 50 penari mengenakan kostum dan topeng bercorak flora dan fauna menarikan sikuen untuk menggambarkan perkembangan alam raya. Yang kelak dieksploitasi manusia.
Di air mancur Rama Shinta, 24 penari menyajikan sikuen Lora Blonyo, tentang cinta dan asmara manusia yang melahirkan kehidupan-kehidupan baru.
Sikuen selanjutnya di area ring dua, di reruntuhan candi yang konon menjadi simbol tak rampungnya karya Bandung Bondowoso. Denny menyuguhkan cerita 1000 wajah manusia, tentang tabiat manusia dengan segala kebaikan dan keburukannya.
Tarian 1.000 wajah manusia ini ditampikan malam hari, dengan tata cahaya kemerahan lewat oncor-oncor yang menggambarkan emosi manusia.
Sikuen terus mengalir sampai ke pelataran antar candi Nandi dan Shiva. Sikuen yang digelar malam hari ini Denny menampilkan tentang berbagai kepercayaan yang tumbuh subur di Nusantara.
Tari topeng Hudoq dari Dayak, topeng Cupak Gerantang dari Nusa Tenggara Barat dan topeng Asmat Papua diramu jadi sebah tarian yang menampilkan ritual-ritual Nusantara. Ke-40 penari bergerak seperti mengalami transenden. Gerakannya penuh tenaga, trance dan berakhir saat dua penari jatuh lemas kehabisan energi.
Cerita bergulir kemudian ke jalan setapak di area ring dua candi, Denny menampilkan sikuen tari tentang akulturasi dan keberagaman. Di sini topeng-topeng tradisional campur sari Parahyangan Jawa Barat tampil dipadukan dengan kostum kontemporer.
“Kita ini keberagaman, Parahyangan, tetap etnik tapi kita eksplor. Jawa Barat itu lebih gulali, warna-warni. Secara topeng juga Jawa Barat kuat, ” jelas Denny.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR