Oleh: Feri Latief
Nationalgeographic.co.id - Saat sang surya mulai melipir ke barat, saat para pengunjung Candi Prambanan di Sleman, Yogyakarta, mulai menghilang dari pandangan, saat langit tak lagi seterik siang bolong, saat itulah bermunculan wajah-wajah bertopeng di pelataran kuno antara candi yang dibangun ratusan tahun lalu.
Sembilan perempuan bertopeng putih pun mengenakan gaun putih serta sepasang anak perempuan dan laki-laki bergerak lincah ke sana kemari di pelataran antara candi Shiva, Brahma, Nandi dan Angsa.
Mereka menarikan munculnya peradaban manusia. Sepasang anak itu menjadi simbol awal mula kehidupan. Para penari meliukan rancangan tari karya Denny Malik, penari kondang yang juga merancang tarian pada pembukaan pesta olahraga Asian Games XVIII 2018 yang baru lalu.
Baca Juga: Kisah Para Seniman Wayang Orang Lestarikan Kesenian Adiluhung di Era Digital
Kali ini jumlah penari tidak semasal seperti saat Asian Games yang mencapai 1.600 orang, Denny merancang tarian untuk dibawakan 300-an penari. Mereka disebar dan menari di tujuh titik lokasi di kawasan Prambanan. Kali ini uniknya semua penari mengenakan topeng!
Saat ditanya mengapa topeng? Dengan lugas Denny menjawab, “Karena Covid!”
Dari pandemi inilah ide tarian bersumber. Saat manusia harus mengenakan masker dan menjaga jarak untuk keselamatan maka mengalirlah ide tarian ini.
“Kita cari konsep apa yang sesuai dengan keadaan kita, masker ya topeng,” cetusnya.
Menariknya, Indonesia memiliki khazanah topeng yang luar biasa. Hampir setiap daerah memilikinya, Denny ingin menampilkan itu.
“Konsep tariannya parade, tapi saya tak mau hanya sekedar pawai yang cuman lewat begitu saja,” lanjutnya lagi.
Ia pun memasukan dramaturgi, ada sentuhan teaternya dan jalan ceritanya.
Maka dibuatlah sikuen-sikuen tarian yang dimulai dengan munculnya peradaban manusia. Sembilan penari perempuan ditampilkan sebagai bidadari dari kahyangan yang menyambut kelahiran sepasang anak manusia.
Mengenakan gaun putih yang didesain menyerupai sayap malaikat mereka mengepak ke sana kemari bercengkrama bersama sepasang anak manusia yang terlahir di Bumi.
Selanjutnya sisi utara kawasan, di halaman Brahma, 50 penari mengenakan kostum dan topeng bercorak flora dan fauna menarikan sikuen untuk menggambarkan perkembangan alam raya. Yang kelak dieksploitasi manusia.
Di air mancur Rama Shinta, 24 penari menyajikan sikuen Lora Blonyo, tentang cinta dan asmara manusia yang melahirkan kehidupan-kehidupan baru.
Sikuen selanjutnya di area ring dua, di reruntuhan candi yang konon menjadi simbol tak rampungnya karya Bandung Bondowoso. Denny menyuguhkan cerita 1000 wajah manusia, tentang tabiat manusia dengan segala kebaikan dan keburukannya.
Tarian 1.000 wajah manusia ini ditampikan malam hari, dengan tata cahaya kemerahan lewat oncor-oncor yang menggambarkan emosi manusia.
Sikuen terus mengalir sampai ke pelataran antar candi Nandi dan Shiva. Sikuen yang digelar malam hari ini Denny menampilkan tentang berbagai kepercayaan yang tumbuh subur di Nusantara.
Tari topeng Hudoq dari Dayak, topeng Cupak Gerantang dari Nusa Tenggara Barat dan topeng Asmat Papua diramu jadi sebah tarian yang menampilkan ritual-ritual Nusantara. Ke-40 penari bergerak seperti mengalami transenden. Gerakannya penuh tenaga, trance dan berakhir saat dua penari jatuh lemas kehabisan energi.
Cerita bergulir kemudian ke jalan setapak di area ring dua candi, Denny menampilkan sikuen tari tentang akulturasi dan keberagaman. Di sini topeng-topeng tradisional campur sari Parahyangan Jawa Barat tampil dipadukan dengan kostum kontemporer.
“Kita ini keberagaman, Parahyangan, tetap etnik tapi kita eksplor. Jawa Barat itu lebih gulali, warna-warni. Secara topeng juga Jawa Barat kuat, ” jelas Denny.
Lalu akulturasi dan keberagaman tampil lagi di pelataran depan jalan candi. Kali ini 40 topeng hasil lomba inovasi ditampilkan lewat berbagai tarian daerah, dari Lenong Betawi sampai Wayang Orang.
Pagelaran tari topeng yang diberi judul Parade Mahakarya Topeng Nusantara ini diakhiri dengan berkumpulnya para penari di tengah pelataran dan jalan setapak di depan candi.
Lagu lawas pemenang Lomba Cipta Lagu Remaja Dasa tembang Tercantik 1979, Kharisma Indonesia, karya Budiman Hakim & IG Ngurah Gde, berkumandang. Dengan arensemen baru yang dibuat Oblet.
Saat terdengar irama dan lirik lagu:
“Bersama kita melagukan irama
Puji kharisma alam Indonesia
Bangsa yang ramah
marilah semua bersatu berpadu…”
Tarian Bali yang glamour pun muncul sebagai dengan berbagai topeng tradisionalnya , lalu seluruh penari bermunculan dari balik reruntuhan dan jalan setapak.
Adegan penutup tarian ini saat para penari membuka topengnya masing-masing dan menjunjung topengnya ke udara. Setiap sikeun lamanya tak lebih dari lima menit. Total tujuh sikuen itu hanya 35 menit.
Denny Malik berharap eksplorasi topeng-topeng Nusantara tak hanya berhenti saat pandemi ini saja.
“Parade topeng ini kalau bisa setiap tahun ada. Karena topeng ini ikonnya Indonesia selain Batik,” begitu keinginan Denny.
Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi
Bagi Denny, Mahakarya Topeng Nusantara ini merupakan alat pengingat. Kondisi pandemi membuat manusia harus introspeksi. Bahwa dalam hidup ini ada kelahiran, ada yang jahat, ada yang lembut, ada kepercayaan yang berkembang juga ada alam yang harus terus dijaga
Pagelaran tari ini tanpa penonton, karena masih pandemi. Namun masyarakat bisa melihat rekaman pagelaran yang akan ditayangkan TVRI dan berbagai platform media sosial.
Pentas seni ini adalah dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional 2020 yang digelar secara virtual di berbagai daerah Indonesia. Pentas virtual ini melibatkan hampir 5.000 pekerja seni, yang diklaim menjadi pementasan virtual terbesar di dunia yang akan tayang mulai tanggal 31 Oktober dan berakhir 30 November 2020.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR