Nationalgeographic.co.id - Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia, ketersediaan air bersih menjadi isu penting karena memengaruhi segala aspek kehidupan, mulai dari kesehatan hingga kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, ketersediaan air bersih belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat. Setidaknya, terdapat 58,6 persen warga yang belum memiliki akses air bersih yang layak.
Padahal 70 persen luas wilayah negara Indonesia didominasi oleh perairan. Akan tetapi pada kenyataanya hanya 2,5 persen saja yang layak untuk dikonsumsi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tercemarnya sungai-sungai yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih.
Berdasarkan data statistik Lingkungan Hidup 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Laporan tersebut mengungkapkan, kualitas air sungai di Indonesia umumnya berada pada status tercemar berat.
Baca Juga: Bangun Kesadaran untuk Lebih Bijak Gunakan Air, Bagaimana Memulainya?
Tercatat 82 sungai tercemar di sepanjang tahun 2016 – 2017, 14 di antaranya memiliki kondisi yang kian memburuk.
Perubahan iklim
Tak hanya pencemaran lingkungan, perubahan iklim yang semakin ekstrem dikhawatirkan dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup.
Banyak studi sebelumnya yang mengatakan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan temperatur udara atau lebih dikenal sebagai pemanasan global.
Dalam buku Perubahan Iklim dan Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir, dan pulau – pulau kecil (2009) karya Freddy Numberi, satu dampak meningkatnya temperatur udara yang disebabkan oleh pemanasan global.
Baca Juga: Desanya Tak Lagi Membara, Warga Sei Pakning Dulang Berkah Wangi dari Lahan Gambut
Semakin cepatnya penguapan atau evaporasi sehingga menyebabkan air tanah semakin cepat berkurang. Air tanah yang berkurang ini akan memengaruhi ketersediaan air bersih di bumi. Selain itu, perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan presipitasi tidak merata.
Bahkan, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengingatkan bahwa tanpa tindakan cepat, suhu global akan naik di atas 3 derajat celcius pada akhir abad ini. Dengan kenaikan suhu tersebut, semuanya akan menjadi lebih buruk.
Seperti mencairnya gletser di pegunungan Himalaya. biasanya gletser di area pegunungan Himalaya menjadi penyelamat, sebab bisa melepaskan 36 kilometer kubik air saat musim kemarau tiba.
Hal Ini bisa mengatasi masalah di daerah-daerah rentan kekeringan selama musim panas. Akan tetapi, dampak dari peningkatan suhu membuat Himalaya terus kehilangan esnya dan angkanya terus mengalami peningkatan.
Baca Juga: Dia yang Sedang Mekar, Habitat Kadal Purba yang Kerap Terlewat
Antara 2000-2016, gletser telah menyusut 1,6 kali lebih cepat dari periode 1951-2007. Mengutip dari National Geographic Indonesia, (03/06/2020), glasiolog dari British Antartic Survey (BAS), Dr Hamish Pritchard, mengatakan, ketika kekeringan terjadi, akan ada kegagalan panen dan hilangnya ternak. Itu akan membuat orang-orang bermigrasi.
Sekalipun tidak bermigrasi, kekeringan dapat menyebabkan konflik antar tetangga karena mereka saling bertengkar untuk mendapat makanan.
Selain terjadi di pegunungan Himalaya, sudah banyak terjadi dampak dari pemanasan global baik dirasakan secara langsung maupun tidak.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah pemanasan global, dengan membatasi praktik manusia yang menciptakan emisi gas rumah kaca (GRK). Itu berarti perlu perubahan pada banyak aspek kehidupan kita sehari-hari, mulai dari pola makan, hingga penggunaan kendaraan.
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Rusaknya daerah resapan air
Ketersediaan air bersih dari tahun ke tahun cenderung menurun akibat pencemaran lingkungan dan kerusakan daerah tangkapan air.
Salah satunya, terjadi di Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Dalam dua puluh tahun, hutan penyangga mengalami kerusakan akibat penjarahan besar-besaran.
Padahal di sana terdapat tujuh mata air yang menghidupi warga Claket: Gunung kejen, genitri, Galbabatan, Kencur, Gedhang, Panceng, dan Cemara. Penebangan pohon tak terkendali itu berdampak pada menyusutnya debit sumber mata air.
Namun itu dulu, sejak adanya pelestarian hutan di wilayah kawasan Claket menjadi salah satu bagian catchment area atau daerah tangkapan sumber air warisan leluhur.
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Program tersebut membuahkan hasil yang signifikan dalam pelestarian sumber air. Bahkan debit air yang sebelumnya hanya bisa menghasilkan 18.4 liter per detik kini bisa mencapai 70 liter per detik.
Tak hanya melakukan program pelestarian sumber air, warga di desa Claket juga membangun sumur resapan air yang berguna menampung air hujan sehingga meresap ke dalam tanah. Hal ini berfungsi meningkatkan sumber air di dalam tanah.
Selain melakukan pelestarian sumber air, diperlukan kesadaran masyarakat agar lebih peduli dalam menjaga keseimbangan ekosistem agar kebutuhan air bersih bisa dipenuhi.
WHO turut menyebut, jika keseimbangan ekosistem tidak terjaga, diperkirakan di tahun 2025 setengah dari populasi dunia akan hidup dalam keadaan krisis air bersih.
Baca Juga: Bertubuh Kekar Ternyata Berbahaya Bagi Kesehatan Sosial Laki-Laki
Melihat permasalahan ini, National Geographic Indonesia melalui #SayapilihBumi bersama dengan Coca-Cola Foundation Indonesia berinisiatif untuk menggelar webinar bertajuk “Upaya Memuliakan dan Melestarikan Air”.
Ini dilakukan agar masyarakat memahami kondisi air dan pentingnya memiliki kesadaran untuk melestarikan air sebagai sumber kehidupan, serta mendorong masyarakat untuk menggunakan sumber daya air dengan lebih bijak.
Sejumlah pembicara yang ahli di bidangnya akan hadir untuk #BerbagiCerita mengenai sumber daya air, yakni Guru Besar Teknik Sumber Daya Air ITB Prof.Ir. Muhammad Syahril Badri Kusuma Ph.D, Peneliti LIPI Bidang Hidrogeologi Dr.Sci. Rachmat Fajar Lubis, Senior Raw Water Specialist USAID IUWASH PLUS PROJECT Ir. Asep Atju Surahmat, dan Wakil Ketua Pelaksana Coca-Cola Foundation Indonesia Triyono Prijosoesilo.
Acara ini akan diselenggarakan melalui Zoom pada 11 Desember 2020 pukul 15.30 – 17.00 mendatang secara gratis dengan kuota terbatas. Untuk informasi dan pendaftaran, Anda bisa mengunjungi link berikut ini.
Penulis | : | Nana Triana |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR