Nationalgeographic.co.id—Pada pertengahan 2012, sebuah kapal bernama Stena Caledonia berlayar ke Tanjung Priok, Jakarta dari Belfast, Irlandia Utara. Ia dibawa pada sebuah misi bernama mobilisasi kapal Stena. Itu adalah kapal yang pertama kali dibeli oleh ASDP untuk Indonesia.
Sebelum dibeli Indonesia, kapal jenis feri ini beroperasi pada rute Belfast ke Stranraer, Skotlandia untuk menangkut penumpang. Karena operasinya untuk rute pendek, kapal ini dipersiapkan selama satu bulan sebelum diberangkatkan ke Indonesia.
Selama masa persiapan, semua bagian kapal disesuaikan dengan INMARSAT (International Maritime Satellite Organization) menambahkan alat komunikasi dan keamanan. Bahkan 18 awak kapal juga dilatih. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standar perjalanan antar samudra. Setelah semua selesai, kapal itu berganti nama menjadi KMP Portlink atau biasa disebut Portlink Zero.
"Satu bulan kita standarisasi. Setelah proses offering, kita mengganti namanya menjadi Portlink Zero dari Stena Caledonia. Secara teknis tangki kapal bukan untuk perjalanan jarak jauh maka harus mampir-mampir. Kapal ini tadinya untuk perjalanan dua sampai tiga jam. Bukan untuk lintas samudra," ucap Captain Solikin, General Manager ASDP Bakauheni pada National Geographic Indonesia di Pelabuhan Bakauheni.
Portlink Zero berlayar Menyusuri Atlantik Utara dan masuk ke lautan Gibraltar. Perjalanan itu dipimpin oleh Susetyo Dwirianto sebagai kapten kapal, Solkin sebagai Chief Officer (Mualim I), Rudi Sunarko sebagai Second Officer (Mualim II), dab Luthfi Pratama sebagai Third Officer (Mualim III).
Rute itu telah disesuaikan dengan mitigasi pelayaran. Tidak terlalu mepet ke pantai dan bisa mendeteksi titik pembajakan. Selama pelayaran itulah kisah-kisah menarik tersimpan di dalamnya.
Ada pepatah yang masyhur mengatakan bahwa laut yang tenang tidak melahirkan pelaut yang handal. Rasanya, awak kapal Portlink Zero merasakanya saat memasuki perairan Gibraltar. Kapal itu mengapung selama tiga hari karena kehabisan bahan bakar minyak.
"Kami harus matikan satu mesin. Ini kapal pertama tempat pembelajaraan kami. Ada telat komunikasi secara manajemen. Tiga hari kami mengapung dan tidak boleh turun jangkar. Kita minggir nggak boleh karena daerah memasuki teritorial negara lain," ucap Solikin.
Satu mesin dinyalakan sebagai stasioner. Komando kapal saat itu melakukan drifting, teknik membelok-belokan kapal supaya tetap melaju dengan bahan bakar yang minim. Para awak saling menguatkan mental, sambil memikirkan resiko terburuk jika kapal hanyut di mana saja.
Solikin mengatakan jika situasi terburuk terjadi, kapal akan mengirimkan sinyal mayday dengan Channnel VHF 16, sebuah sinyal radio internasional yang digunakan untuk memberikan informasi keadaan darurat.
Ini menjadi suatu tantangan menurut Solikin, pelaut Indonesia terkenal tangguh dan tidak mudah menyerah. Akan mencoreng nama Indonesia jika mengirim sinyal tersebut jika bukan karena keadaan kahar.
Bahan bakar minyak sudah habis total pada hari ketiga. Mesin pompa pun diganti pakai timba. Untungnya sinar terang pun datang. Manajemen pusat telah menyelesaikan kebutuhan bahan bakar. Kapal itu akhirnya berlabuh di Algeciras, Spanyol.
"Kita berlabuh tidak sampai 24 jam untuk bunker (isi minyak dan air bersih). Ada yang menarik, jika di Indonesia kita memberikan tip, di pelabuhan Algeciras tidak mau diberikan tip," Solikin menceritakan karakteristik pelabuhan itu.
Memahami karakteristik pelabuhan adalah wajib bagi tiap pelaut. Ada panduan bahari atau pilot book yang perlu dipelajari untuk memahami sejarah, letak jangkar yang aman, karaktersitik masyarakat, mata uang, hingga navigasi di setiap tempat.
Baca Juga: Mutasi Baru COVID-19 Muncul di Beberbagai Negara, Bagaimana Bisa?
Setelah dari Algeciras, Portlink Zero melanjutkan perjalanan ke Malta dan Port Said di Mesir. Cerita menarik pun ada di pelabuhan ini.
Ketika kapal sedang berjangkar, ada kelompok yang berpura-pura sebagai agen. Mereka naik ke kapal lalu mencari barang-barang yang bisa dilego.
"Mereka bilang kapal ini mau dijual ke Inggris. Mereka mau ambil inventaris, tidak bawa senjata. Kita berkumpul dan melakukan penekanan dan melaporkan pada otoritas setempat. Di pelabuhan banyak yang model begitu. Itu terjadi saat kita membutuhkan pemandu untuk nyebrang ke Terusan Suez," kata Solikin.
Empat personil pengamanan mulai naik ke Portlink Zero saat berlabuh di Jeddah, Arab Saudi. Mereka adalah bekas tentara NATO yang dibekali senjata laras panjang dan amunisi.
Sebetulnya saat berada di Belfast juga sudah dilakukan pemagaran (hardening) lengkap dengan bazooka dan altileri lainya. Juga ada citadel, sebuah ruangan khusus yang dipersiapkan jika terjadi pembajakan. Lengkap dengan perbekalan, alat komunikasi, dan pengamanan berlapis.
Alasan mengapa personil keamanan baru naik di Jeddah menurut Solikin karena di perairan sebelumnya masih berkeliaran pasukan NATO. Jadi tidak membutuhkan pengamanan yang menetap di kapal. Jalur menuju Salalah, Oman dari Jeddah menurut Solikin memang rawan dengan bajak laut Somalia.
"Memang di situ area rawan bajak laut Somalia. Ada daerah yag ditetapkan sebagai daerah rawan dari pelayaran Belfast, salah satunya itu dan Selat Malaka. Tidak semua daerah rawan. Di IMO ditetapkan," ujar Solikin.
Benar saja, saat menuju Salalah, banyak kapal-kapal yang melakukan pendekatan, yang diduga bahwa mereka adalah bajak laut.
Kapal-kapal itu datang pada malam hari dan mengitari Portlink Zero. "Bahkan ada kapal besar datang dari kejauhan dengan kecepatan tinggi, ia matiin lampu dan nyalakan lampu saat mau mendekat," kata Solikin.
Namun tidak ada yang benar-benar menaiki kapal atau betul-betul dekat. "Mungkin mereka sudah melihat hardening kapal dari kejauhan," kata Solikin. "Atau mungkin mereka sudah melihat bahwa ini kapal penumpang yang tidak banyak harta karun," lanjutnya.
Pelabuhan demi pelabuhan pun disinggahi. Setelah Salalah ada Mumbai, Belawan, Skupang, dan berakhir di Tanjung Priok. Setelah sampai, kemudian kapal itu disesuaikan dengan daerah tropis. Penghangat ruangan diganti menjadi AC, mengganti karpet, menambahkan sofa, dan penyesuaian lainya. Total pelayaran itu pun memakan waktu selama empat bulan.
Stela Caledonia sendiri merupakan kapal tahun 80-an. Walaupun umurnya sudah cukup tua, sebuah kapal tidak mengenal yang namanya umur menurut Solikin. Asalkan ia mengikuti Compliant Standard, replating secara berkala, dan peremajaan lainya. Sejarah juga mencatat bahwa Stela Caledonia adalah kapal yang monumental.
"Kapal ini dibangun di galangan kapal Titanic. Ia satu tempat pembangunan. Jadi kapal ini pun dulu menjadi kebanggaan orang sana. Sampai di sampingnya ada Museum Titanic."
Source | : | Wawancara Solikin |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR