Nationalgeographic.co.id - Malaria merupakan penyakit lama yang kerap dihadapi peradaban manusia dan merupakan penyakit mematikan. Diketahui ia dapat merenggut hingga satu juta jiwa per tahunnya, dan mayoritas korbannya adalah anak-anak.
Karena tuanya penyakit ini kepada kita, perlahan manusia mengalami evolusi genom untuk mencegah terserang malaria. Evolusi kekebalan tubuh ini bukanlah perkara singkat, ia membutuhkan waktu hingga ratusan ribu tahun lamanya.
Tetapi studi terbaru justru menemukan adanya kondisi tertentu yang membuat perkembangan adaptasi ini membutuhkan waktu yang lebih singkat. Penelitian ini dilakukan oleh Iman Hamid dari Department of Evolutionary Anthropology Duke University, bersama timnya dari University of Leicester.
Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia
Mereka melakukan penelitiannya di Tanjung Verde, sebuah negara kepulauan di lepas Atlantik, 600 kilometer dari Senegal. Secara demografis, penduduknya merupakan turunan campuran kulit hitam dan kulit putih di masa lalu.
Secara historis, menurut naskah Carta Regia (Surat Kerajaan), kepulauan ini tidak berpenghuni hingga ditemukan pada abad ke-15 oleh Antonio de Noli. Tanjung Verde kemudian dikuasai Portugis, dan dikirimkan budak Afrika untuk mengurus tanah tersebut.
Dalam laporan penelitiannya yang dipublikasikan di jurnal eLife Science pada 4 Januari 2021, temuan ini merupakan evolusi genom daya tahan tubuh tercepat, 500 tahun.
“Itu adalah sekejap mata pada skala waktu evolusi,” kata penulis utama studi, Iman Hamid dalam publikasi akademik, Duke Today.
Mereka menganalisis data DNA dari 563 penduduk di kepulauan itu. Lalu menganalisa data dengan metode statistika yang mereka kembangkan--skor iDAT (Skor Decay in Ancestry Tract)-- pada masyarakat keturunan campuran Afrika-Eropa. Kemudian mereka membandingkan kondisi kehidupan seperti demografis dan geografis di pulau Santiago dengan pulau-pulau lainnya.
Dalam laporannya, pulau Santiago dipilih sebagai perbandingan karena memiliki kasus malaria yang cukup marak.
Tim penelitian menemukan bahwa frekuensi mutasi genetik kekebalan tubuh menghadapi malaria yang dimiliki keturunan campuran sangat tinggi. Keturunan ini sudah ada sejak mulainya perkawinan campur sekitar 1460-an, atau kurang lebih 20 generasi sebelumnya.
Para peneliti menyebut, salah satu kuncinya adalah pada masa perkawinan campur di masa lalu. Orang Afrika yang dibawa secara paksa ke Tanjung Verde membawa mutasi genetik yang tidak dimiliki oleh penjajah Eropa, yang kemudian tercampur pada kawin campur.
Source | : | elifesciences.org |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR