Hakikat dasar bahwa anak gadis berhak memilih pasangannya sendiri —bahwa memilih orang untuk dijadikan suami dan tempat tinggal semestinya menjadi keputusan sendiri, berdasarkan cinta dan keinginan sendiri— masih dianggap sebagai buah pikiran yang tidak masuk akal di sebagian penjuru dunia. Di sebagian besar wilayah India, misalnya, kebanyakan perkawinan masih diatur orang tua. Perkawinan yang kokoh dipandang sebagai penyatuan dua keluarga, bukan dua insan. Diyakini bahwa hal ini harus dirundingkan dengan saksama oleh para sesepuh, bukan oleh anak-anak muda yang mengikuti hasrat hati semata yang bersifat sementara.
Jadi, dalam masyarakat yang sangat miskin, yang menganggap gadis yang sudah tidak perawan tidak lagi layak menikah —para nenek dan saudara nenek mendesak dilakukannya perkawinan belia, bahkan bersikeras; “karena saya menikah dengan cara ini, maka cucu saya juga harus melakukan hal yang sama”— bisa dimaklumi bagaimana para pendukung anti-perkawinan-dini yang paling bersemangat pun jadi ragu dan berusaha mencari celah.
“Seorang pegawai kami kebingungan didatangi ayah seorang gadis belia,” kata Sreela Das Gupta, ahli kesehatan asal New Delhi yang pernah bekerja di International Center for Research on Women (ICRW), yayasan nirlaba tingkat dunia yang aktif menentang pernikahan dini.
“Si ayah berkata, ‘Kalau saya setuju putri saya dinikahkan setelah dia lebih besar, bersediakah Anda mengambil alih tanggung jawab untuk melindunginya?’ Pegawai itu menemui kami kembali dan berkata, ‘Apa yang harus saya katakan kepada si ayah seandainya anaknya itu diperkosa pada usia 14 tahun?’ Kami tidak dapat menjawabnya.”
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Dari sudut pandang ICRW, perkawinan remaja di bawah usia 18 tahun adalah perkawinan dini, dan meski jumlah pastinya mustahil diketahui, para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahun 10 hingga 12 juta anak perempuan di negara berkembang menikah pada usia semuda itu. Upaya untuk menurunkan jumlah ini memperhitungkan berbagai faktor penyebab yang memaksa anak remaja menikah dan mulai hamil, sehingga menghilangkan peluangnya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan upah yang lebih baik.
Tekanan tidak hanya berasal dari orang tua yang bersikap seperti diktator. Ada kalanya anak perempuan berhenti sekolah karena mereka mengira memang itulah yang semestinya mereka lakukan atau karena tidak ada pilihan lain.
Kemungkinan paling baik, apabila program penundaan-perkawinan berhasil diterapkan dalam masyarakat, adalah memberikan bukti kehidupan yang lebih baik, bukan mempermalukan atau menyalahkan masyarakat. Upaya yang bisa dilakukan antara lain pemberian insentif langsung agar anak perempuan tetap diperbolehkan sekolah, di samping tersedianya gedung sekolah agar mereka dapat bersekolah.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR