Nationalgeographic.co.id—Sebuah penyelenggara acara pernikahan bernama Aisha Weddings ramai diperbincangkan publik setelah mempromosikan jasa layanan nikah siri dan pernikahan usia dini. Layanan pernikahan usia dini ini sontak menjadi pembicaraan karena selain bertentangan dengan upaya pemerintah menekan pernikahan anak juga dianggap melanggar undang-undang tentang perkawinan anak.
Selama bertahun-tahun persoalan pernikahan usia dini telah menjadi permasalahan tersendiri bagi Indonesia. Praktik pernikahan dini tetap marak, meskipun pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Selain itu, ada aturan yang menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya bisa dilakukan setelah mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan.
Faktanya, regulasi ini belum berhasil menekan praktik pernikahan usia dini di Indonesia. Permohonan dispensasi ke pengadilan semakin meningkat.
Berdasarkan data 2018, pernikahan usia dini ditemukan di seluruh bagian Indonesia. Sebanyak 1.184.100 perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun. Jumlah terbanyak berada di Jawa dengan 668.900 perempuan.
Baca Juga: Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil
Di tengah masa pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak 2020 dan hingga sekarang belum usai, angka pernikahan usia dini di Indonesia juga tercatat melonjak. Pada Januari-Juni 2020, 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, 97% di antaranya dikabulkan. Padahal sepanjang 2019, hanya terdapat 23.700 permohonan.
Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad, Dr. Susilowati Suparto, M.H., salah satu penyebab meningkatnya angka pernikahan usia dini di masa pandemi Covid-19 adalah permasalahan ekonomi. Kehilangan mata pencaharian di masa pandemi berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga.
“Para pekerja yang juga orang tua tersebut sering kali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga,” ungkap Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad pada Juli 2020 lalu.
Baca Juga: Wabah COVID-19, Peluang Perempuan Indonesia untuk Akrabi Teknologi
Tak hanya di Indonesia, pernikahan usia dini atau perkawinan dini nyatanya merupakan praktik atau bahkan tradisi yang tetap berlangsung sampai sekarang di berbagai penjuru dunia. Pernikahan semacam ini diatur oleh orang tua untuk anak mereka sendiri, sering kali secara sadar melanggar hukum negara, dan dimaklumi seluruh masyarakat sebagai cara yang baik bagi anak perempuan untuk tumbuh dewasa jika dibandingkan dengan cara lain yang tidak berterima, terutama jika mereka menghadapi risiko kehilangan keperawanan karena direnggut oleh lelaki yang bukan suaminya.
Perkawinan belia terdapat di berbagai benua, bahasa, agama, kasta. Di India, anak perempuan biasanya ditunangkan dengan anak laki-laki yang usianya lebih tua empat atau lima tahun; di Yaman, Afghanistan, dan sejumlah negara lain yang angka perkawinan dininya tinggi, sosok suami bisa pemuda atau duda separuh baya atau penculik yang mula-mula memperkosa dan kemudian memperistri korbannya, se- bagaimana kebiasaan di wilayah tertentu di Etiopia. Beberapa di antara perkawinan ini merupakan transaksi bisnis: utang yang dilunasi dengan pengantin berusia 8 tahun; perseteruan keluarga yang diselesaikan dengan pemberian saudara sepupu yang masih perawan dan berusia 12 tahun.
Perkawinan ini, apabila terungkap ke publik, menjadi bahan berita yang membuat dunia geram. Drama kehidupan pada 2008 yang dialami Nujood Ali, gadis Yaman berusia 10 tahun yang menempuh sendiri perjalanan menuju pengadilan kota untuk mengajukan cerai dari seorang lelaki berusia 30 tahun, yang dinikahinya karena dipaksa ayahnya, menjadi buah bibir di seluruh dunia dan diterbitkan sebagai buku yang diterjemahkan ke dalam 30 bahasa: Saya Nujood, Usia 10 dan Janda.
Namun, di lingkungan segelintir masyarakat yang terbiasa melangsungkan pernikahan dini yang diatur orang tua, pada titik yang ekstrem amatlah sulit menentukan bahwa perkawinan tersebut adalah sesuatu yang salah. Padahal, setelah menikah, pendidikan anak perempuan itu pasti berakhir.
Baca Juga: Riset Terbaru: Ganja Medis Ampuh Turunkan Tekanan Darah Pasien Lansia
Hakikat dasar bahwa anak gadis berhak memilih pasangannya sendiri —bahwa memilih orang untuk dijadikan suami dan tempat tinggal semestinya menjadi keputusan sendiri, berdasarkan cinta dan keinginan sendiri— masih dianggap sebagai buah pikiran yang tidak masuk akal di sebagian penjuru dunia. Di sebagian besar wilayah India, misalnya, kebanyakan perkawinan masih diatur orang tua. Perkawinan yang kokoh dipandang sebagai penyatuan dua keluarga, bukan dua insan. Diyakini bahwa hal ini harus dirundingkan dengan saksama oleh para sesepuh, bukan oleh anak-anak muda yang mengikuti hasrat hati semata yang bersifat sementara.
Jadi, dalam masyarakat yang sangat miskin, yang menganggap gadis yang sudah tidak perawan tidak lagi layak menikah —para nenek dan saudara nenek mendesak dilakukannya perkawinan belia, bahkan bersikeras; “karena saya menikah dengan cara ini, maka cucu saya juga harus melakukan hal yang sama”— bisa dimaklumi bagaimana para pendukung anti-perkawinan-dini yang paling bersemangat pun jadi ragu dan berusaha mencari celah.
“Seorang pegawai kami kebingungan didatangi ayah seorang gadis belia,” kata Sreela Das Gupta, ahli kesehatan asal New Delhi yang pernah bekerja di International Center for Research on Women (ICRW), yayasan nirlaba tingkat dunia yang aktif menentang pernikahan dini.
“Si ayah berkata, ‘Kalau saya setuju putri saya dinikahkan setelah dia lebih besar, bersediakah Anda mengambil alih tanggung jawab untuk melindunginya?’ Pegawai itu menemui kami kembali dan berkata, ‘Apa yang harus saya katakan kepada si ayah seandainya anaknya itu diperkosa pada usia 14 tahun?’ Kami tidak dapat menjawabnya.”
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Dari sudut pandang ICRW, perkawinan remaja di bawah usia 18 tahun adalah perkawinan dini, dan meski jumlah pastinya mustahil diketahui, para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahun 10 hingga 12 juta anak perempuan di negara berkembang menikah pada usia semuda itu. Upaya untuk menurunkan jumlah ini memperhitungkan berbagai faktor penyebab yang memaksa anak remaja menikah dan mulai hamil, sehingga menghilangkan peluangnya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan upah yang lebih baik.
Tekanan tidak hanya berasal dari orang tua yang bersikap seperti diktator. Ada kalanya anak perempuan berhenti sekolah karena mereka mengira memang itulah yang semestinya mereka lakukan atau karena tidak ada pilihan lain.
Kemungkinan paling baik, apabila program penundaan-perkawinan berhasil diterapkan dalam masyarakat, adalah memberikan bukti kehidupan yang lebih baik, bukan mempermalukan atau menyalahkan masyarakat. Upaya yang bisa dilakukan antara lain pemberian insentif langsung agar anak perempuan tetap diperbolehkan sekolah, di samping tersedianya gedung sekolah agar mereka dapat bersekolah.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR