Pekerjaan samping para bissu kini antara lain menjadi dukun, pengusir roh jahat, penari adat, hingga tata rias pernikahan.
Selain ancaman sumber penghidupan, mereka juga sempat terancam dari segi keamanan dan politik. Ancaman itu datang dari DI/TII melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar.
Abdul Hakim pengajar Southeast Asian Studies di Ohio University menulis, saat itu para bissu memotong rambutnya dan menyamar sebagai perempuan.
Sedangkan berikutnya semasa G30S 1965, mereka sempat dicap sebagai bagian dari PKI. Akibatnya pada 1966, berbagai upacara adat dan ritual bissu ditiadakan dan para bissu harus bersembunyi dari ancaman maut.
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
Salah satu pimpinan bissu yang tersohor dan melegenda di abad ke-21 ini adalah Puang Matoa Saidi (Saidi bin Rudding). Selain menjadi bissu, semasa hidupnya bekerja sebagai penata rias pengantin.
Perjalanan menjadi bissu bermula ketika Saidi masih anak-anak. Sifat dan perilakunya sangatlah feminim (calabai) di antara anak-anak lainnya. Namun dari segi spiritualnya saat berusia sembilan tahun, ia sudah termotivasi untuk menjadi bissu.
Motivasi ini pun tumbuh sampai remaja ketika kerap terkena penyakit yang mengharuskannya dirawat. Kemudian, ia bersumpah pada dirinya jika sembuh untuk menjadi bissu.
Setelah sumpah itu secara ajaib Saidi sembuh dan tak terkena penyakit lagi, dan mulai memantapkan diri untuk menjadi seorang bissu. Meski nyatanya, lingkungan dan keluarga di kampung halamannya selalu mengintimidasi.
"Tiap hari saya dipukul dan disiksa hingga tubuh luka-luka, bengkak, dan berdarah. Kadang-kadang saya dibawa ke ruang darurat di rumah sakit akibat siksaan ayah saya," kenang Saidi pada Hakim dalam papernya.
"Bagaimanapun, itu tidak menggoyahkan hati saya untuk menjadi seorang bissu."
Saidi kemudian diberi pilihan oleh keluarganya untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk menjadi bissu. Dirinya pun bertemu dengan Sanro Seke yang mengajarinya beragam doa dan ritual bissu.
Ia juga hapal sembilan naskah I La Galigo yang membuatnya mendapatkan gelar Puang Malolo, salah satu posisi tinggi di komunitas bissu.
Singkatnya sejak tahun 2000, Saidi bersama rekan-rekannya mengagendakan lebih banyak waktu untuk upaya pelestarian adat istiadat bissu. Mereka juga mengajari para generasi muda bissu yang tertarik untuk mengembangkan ilmunya. Perlahan, popularitas Saidi pun dikenal di Bone, Luwu, Soppeng, dan Wajo.
Saidi yang peduli dengan tradisi Bugis kuno pun turut terlibat dalam acara adat. Ia juga terlibat dalam penelusuran benda-benda Bugis purbakala yang diyakini berhubungan dengan I La Galigo.
Baca Juga: Kabar dari Timur: Menikmati Foto Bercerita Jepretan Anak-anak Sumba
Di kalangan akademis, Saidi juga kerap diundang Universitas Hasanuddin untuk menerjemahkan naskah I La Galigo. Naskah itu masih menggunakan bahasa dewata yang hanya bisa dipahami oleh para bissu, dan hanya dirinya yang memahami naskahnya.
Ketertarikannya untuk mempelajari budaya Bugis lebih dalam, berbuah pada pemberian gelar Puang Matoa—gelar tertinggi di kalangan bissu. Inagurasinya diadakan pada November 2001.
"Jadi Saidi diangkat jadi Puang Matoa karena kecerdasannya. Dia selesai belajar segala hal tentang Bugis," ujar Bissu Sale' dalam dokumenter The Last Puang Matoa: Bissu Saidi karya Arman Dewarti.
"Saidi sering ke rumah Puang Matoa Seke' kadang bermalam karena dia mau belajar. Saya pikir mungkin Saidi yang kelak menggantikan Puang Matoa Seke', sebab pemahaman bahasa bugisnya lancar," kenangnya.
Usaha Saidi memperkenalkan kebudayaan Bugis berkembang lewat kesempatan yang diberikan Robert Wilson. Ia dipercayai untuk menjadi pemeran utama teater kisah I La Galigo dalam tur dunia.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Tempo,academia,tribun,Jurnal Ilmiah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR