Namun lamanya ia turut melalang buana memperkenalkan I La Galigo di mata dunia, kewajibannya sebagai Puang Matoa. Komunitas bissu sempat kecewa pada Saidi ketika dipanggil ke Jakarta, padahal semestinya ia memimpin ritual mappalili.
Mappalili adalah upacara ritual menjelang masa penanaman padi. Ritual itu kemudian dilakukan tanpa Saidi, dan dipimpin oleh Puang Malolo.
28 Juni 2011 di Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Saidi mengembuskan napas terakhirnya. Melansir dari Tempo, Saidi sebelumnya menjalani perawatan di UGD rumah sakit setempat.
Baca Juga: Marie Thomas, Dokter Wanita Indonesia Pertama yang Kini Jarang Dikenal
Para bissu percaya bila sakit yang diderita Saidi sebelum meninggal ada kaitannya dengan pentas teater arahan Robert Wilson. Teater itu dinilai berlawanan dengan tradisi Bugis karena adanya penggubahan naskah I La Galigo yang dianggap sakral.
Kosong selama bertahun-tahun, pemberian gelar Puang Matoa akhirnya diadakan pada 11 November 2017. Melansir dari Tribunnews, Wa' Nani dipilih sebagai Puang Matoa, jabatan tinggi bissu, hasil rembuk pemangku adat, pemerintah kecamatan, dan enam bissu yang tersisa di Segeri.
Berkutat di era modern, kebudayaan tentang sucinya kalangan bissu hanya menjadikannya sebagai daya jual wisata saja. Axel Jeconiah Pattinama dari Universitas Negeri Makassar dalam Jurnal Holistik (Vol. 13 No.4 tahun 2020) menilai peran bissu kian memudar di mata kepercayaan dan rasa hormat masyarakat.
Dalam studinya, bissu kini hanya dipandang sebagai transgender biasa yang tidak lagi dianggap suci.
"Kejayaan bissu yang semakin surut membawa dampak pada pelestarian budaya dan tradisi Bugis lainnya," tulisnya.
"Komunitas bissu sebagai identitas budaya bugis yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, dikhawatirkan akan punah."
Source | : | Tempo,academia,tribun,Jurnal Ilmiah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR