Jam sudah menunjukkan pukul empat. Berbekal maps di mobil kami sampai di lokasi. Dengan membayar retribusi 15.000,- untuk wisatawan lokal dan 30.000,- untuk wisatawan mancanegara kita bisa menikmati adegan matahari terbit di bukit Punthuk Setumbu. Waktu yang tepat untuk mengujunginya yakni diantara bulan Juni hingga Agustus, karena dibulan ini merupakan musim kemarau. Di musim hujan kita tak bisa menikmati pesona sunrise secara utuh, kadang mendung menutupi langit.
Dari pintu masuk naik keatas bukit sekitar 300 meteran. Tenang, jalan sudah di semen dan kanan-kiri dilengkapi pegangan. Lampu di jalur menuju bukit pun juga selalu menyala. Warga yang membuka warung di sekitaran pun selalu menawari kopi ataupun souvenir secara ramah. Terdapat saung juga jika merasa lelah untuk melanjutkan trekking naik ke bukit.
Baca Juga: Narasi Borobudur: Storynomicnya Megastruktur Terbesar di Dunia
Cukup lelah menuju bukit Punthuk Setumbu. Tenang, rasa lelah itu akan terbayarkan ketika kedua mata kita disuguhkan pesona alam yang menyeruak, terlihat gunung Merapi dan gunung Merbabu. Candi Borobudur pun terlihat samar-samar berselimut kabut. Tak hanya itu, cahaya keemasan mentari pagi memberi nuansa yang khas. Langsung kurekam dengan kameraku.
Bukit Punthuk Setumbu bagi kami memberikan alternatif lain untuk menikmati Borobudur dari kejauhan. Ternyata tak kalah memesona dibandingkan kita menikmati dari jarak dekat. Borobudur merupakan candi bercorak Buddha. Candi beralamat di Magelang, Jawa Tengah. Borobudur didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh wangsa Syailendra. Borobudur juga merupakan kuil Buddha terbesar di dunia. Sehingga setiap tahunnya dipadati umat Buddha untuk merayakan hari besar Waisak.
Nirwana terbit diantara punggung gunung Merapi dan gunung Merbabu. Kabut tipis menyelimuti Borobudur. Semua terekam sudah di ingatan dan memori kartu kamera. Suasana ini akan kami selalu kami rindukan.
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR