Kejadian pemberontakan orang-orang Tionghoa di Kartasura tersebut dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan. Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka juga menggempur Kartasura, yang mereka anggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Tionghoa mengepung Kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Keraton Kartasura. Kejadian Geger Pecinan ini terkeam dalam Babad Giyanti berikut.
pra punggawa myang para prajurit
prawiranung andêling ranangga
lir kabuncang sudirane
karkate têlas murud
têka uwas giris amiris
mung nêdya ngungsi gêsang
nora lawan mungsuh
tan pae lan wadu jana
wus dilalah karsaning Kang Murbèng Bumi
rusaking Kartasura
Artinya: Para punggawa dan para prajurit perwira andalan dalam perang seperti terbuang keberanianya. Harga-dirinya hilang surut, malah penuh was dan rasa takut, hanya berpikir mengungsi untuk hidup. Tidak melawan musuh, tak beda dengan perempuan. Sudah menjadi kehendak Yang Menguasai Dunia, rusaklah keraton Kartasura.
Baca Juga: Dipanagara, Lelaki Ningrat yang Gemar Blusukan
Pada tahun 1743, Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah berhasil dikalahkan berkat bantuan VOC. Namun kondisi keraton yang porak poranda dan rusak membuat dirinya memilih untuk memindahkan keraton Kartasura ke Sala atau Solo yang saat ini dikenal sebagai Surakarta. Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745. Sejak hancurnya Keraton Kartasura dan berdirinya Keraton Surakarta, Pakubuwono II kemudian lebih dikenal raja terakhir Kesultanan Mataram dan raja pertama Kasunanan Surakarta.
Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang di Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya, dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”.
Pakubuwono II memiliki kakak tiri bernama Arya Mengkunegara. Mereka satu ayah (Amangkurat IV) tapi beda ibu. Arya Mangkunegara kemudian memiliki anak bernama Raden Mas Said atau bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Raden Mas Said ini bersikap anti-VOC dan dialah yang kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunegaran atau Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran adalah kerajaan otonom yang berkuasa di wilayah Surakarta sejak 1757 sampai 1946.
Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan
Dari silsilah keturunan Amangkurat IV, setidaknya ada tiga tokoh penting pendiri kerajaan baru pecahan Mataram. Dari garwa padmi (permaisuri) GKR. Kencana (Ratu Mas Kadipaten) lahir Pakubuwana II, pendiri Kasunanan Surakarta. Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Tejawati lahir Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Karoh lahir Pangeran Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara I, pendiri Kadipaten Mangkunagaran.
Mangkunegara I atau Raden Mas Said kelak mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia karena perjuangannya melawan VOC. Oleh VOC, ia menjadapat julukan sebagai Pangeran Sambernyawa karena di dalam peperangannya ia selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR