Nationalgeographic.co.id— Ghosting merupakan istilah populer masa kini untuk mengungkapkan hubungan yang berhenti begitu saja, tanpa komunikasi dan alasan yang jelas. Fenomena ini terjadi pada kalangan anak muda yang sedang maupun akan menjalin hubungan cinta.
Dosen Fakultas Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Ariel Obdyah, saat dihubungi National Geographic Indonesia, Senin (08/03), berujar bila ghosting bukanlah hal yang baru.
"Sekarang fenomena ghosting ini jadi mudah ditrack, karena terhubung dengan teknologi. Komunikasi kita terdokumentasi dengan teknologi, jadi kalau 'menghilang' mudah dikenal." terangnya.
"Penyebutan itu baru ada di saat fenomena ini naik lagi di era digital. Kalau dulu ya disebutnya hilang begitu saja karena enggak bisa ditrack."
Ia menyebut bila ghosting subur dilakukan di era digital karena minimnya interaksi langsung, minimal risiko, dan tak perlu harus mempertanggungjawabkan tindakannya.
Baca Juga: Perubahan Kata Percakapan: Pertanda Berakhirnya Hubungan Percintaan
Leah LeFebvre dan tim dari University of Alabama menulis dalam jurnal Imagination, Cognition and Personality (Vol.39(2) tahun 2019), bahwa ghosting dilakukan sebagai salah satu bentuk mediasi menghindari permasalahan. Mereka melakukan survei kepada 99 orang yang pernah menjadi 'korban' dan pelaku ghosting.
"Ghosting menyerupai strategi pembubaran tarik dan ulur [penghindaran], meskipun secara khusus berfokus pada strategi tidak langsung melalui cara yang memiliki wadah."
"Ghosting menawarkan proses berurutan, terutama dalam komunikasi tak sinkron yang dimediasi; penjedaan komunikasi mungkin menawarkan ruang kogintif antara inisiator (pelaku) dan non-insiator," tulis mereka .
Ada pun ghosting dibagi dua jenis penyebabnya menurut jangka waktu (pendek dan panjang). Pada ghosting jangka pendek ditujukan sebagai alasan yang beriorentasi pada diri sendiri. Sedangkan ghosting jangka panjang, pelaku memilih untuk mengakhiri hubungan tanpa memberika sisa harapan, atau tak ada keinginan kembali melanjutkan hubungan.
"Tetapi gini, kembali pada tangan si yang punya hubungan ini. Kalau yang punya hubungan ini menghilang tanpa pesan apakah ini sudah umum? Karena ada yang enggak langsung curiga." tanggap Ariel pada penelitian itu.
"Ada yang sekali dua kali masih mentoleransinya, belum bisa diisukan ke ghosting. Ada juga yang insecure, posesif ketika ga bales. Itu relatif."
Berbeda dengan hasil studi, Ariel berpendapat ada empat alasan utama ghosting:
1. Karena ada rasa takut atau minder (insecure). Umumnya terjadi pada penemuan fakta-fakta dalam hubungan yang mulai terungkap jelas, seperti pasangan yang lebih kaya, atau lebih pintar. Akibatnya, pelaku merasa tak sanggup 'membayar' atau memelihara hubungan dengan menghadapi cara hidup bersama pasangan.
"Apalagi kalau pasangannya (yang akan di-ghosting) ini juga berbohong. Membuat kesan 'duh ini orang berbohong, mending kabur saja, deh'," papar Ariel.
2. Trauma dari masa lalu. Trauma ini bisa berupa ketakutan kegagalan yang jatuh kedua kalinya. Terlebih bila yang di-ghosting memiliki banyak kesamaan dengan masa lalu pelaku yang kemudian memanggil referensi kenangan buruknya dengan yang terdahulu.
3. Prioritas. Ariel mengungkap bila kejadian ini marak di komunikasi daring, terutama pada aplikasi kencan.
"Contohnya ada lima orang yang approach, kelima-limanya merespon. Tetapi karena adanya beda frekuensi kontak, akhirnya memprioritaskan salah satu dan me-ghosting 4 sisanya."
4. Penyelamatan diri. Ghosting tak selamanya dianggap sebagai kejahatan, tetapi bisa untuk menyelamatkan diri dari orang yang harus dihindari atau dianggap berbahaya. Maka, ghosting adalah jalan terbaik untuk menghindari konflik.
Alasan nomor empat ini juga diungkapkan oleh Bageur, seorang pengjar berusia 25 tahun, melakukan ghosting pada seseorang yang ia temui lewat aplikasi kencan.
"Udah bilang kalau gue enggak ada hubungan serius. [Kemudian] kami sama-sama buat kesepakatan. Tapi dia sering melewati kesepakatan ini, dan sering diperingati, dan diulang lagi," paparnya.
"Awalnya bisa dipercaya sampai punya kontak personal, ternyata masih begitu, hingga akhirnya saya ghosting dia sampai sekarang."
Dalam pelaksanaannya, ghosting pun memiliki dua strategi. Pertama ghosting langsung tanpa memberi komunikasi dengan pasangannya. Kedua, strategi berharap yang menerapkan pendekatan tidak langsung, memilih keluar dari permasalahan apa pun, sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas berkomunikasi.
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Bagi kedua pihak, ghosting memiliki banyak interaksi imajiner, atau interaksi tak langsung untuk menginformasikan proses penyampaian pesan komunikasi untuk intra-pribadi, dan antar-pribadi.
Misal, ketika menjalani hubungan pendekatan, non pelaku merasakan adanya komunikasi menuju suatu hubungan pada jenjang berikutnya, seperti pacaran. Tetapi konsep komunikasi yang dilakukan pelaku bisa saja berbeda, ia mungkin menganggapnya sebagai pesan bukan untuk menuju ke sana.
Akibatnya ketika pelaku menganggap bila non pelaku merasa lain dari persepsinya, maka ia memilih ghosting sebagai jalannya.
Meski ghosting tak memberikan ruang komunikasi dan membuat jarak dalam hubungan, ghosting tak sama dengan pemutusan hubungan. Melainkan merupakan salah satu jalan untuk mengakhiri hubungan.
Dampak ghosting
Hestia, seorang pegawai penerbit berusia 27 tahun yang pernah mengalami ghosting berbagi pengalamannya, "Selama 3 bulan, di-ghosting sama mantan. Dia kembali dan memberikan alasan walaupun enggak logis."
Tetapi selama ghosting, Hestia akui untuk mencoba menilai letak kesalahannya pada pasangan. Ia bahkan berspekulasi mengenai kepergian pasangannya.
Pada kondisi yang lebih larut, Ariel menjelaskan, setelah bertanya-tanya akan kesalahan diri, akan lebih parah jika spekulasi rasa menjadi orang yang terbuang muncul. Itu akan menyebabkan rasa psikologis yang mirip dengan putus hubungan, bahkan menimbulkan depresi.
Di sisi lain, rasa bersalah juga dapat muncul pada pelaku ghosting untuk berberapa kasus, kecuali karena alasan yang memang untuk menyelamatkan diri. Rasa itu bisa berupa penyesalan hingga menghakimi diri sendiri, sehingga mencoba perlahan untuk kembali dan berbuat baik.
"Saya kepikiran banget itu buat minta maaf, setelah 8 bulan [ghosting] saya bersalah banget dan ketemu dia--sekalian mengakhiri hubungan," Bageur bercerita pengalaman ghosting lainnya. "Cuma tetap saja, udah minta maaf dan tetap merasa bersalahnya sampai sekarang."
Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Peduli pada Hewan Peliharaan Daripada Sesama?
Ariel menjabarkan perbedaan antara keduanya dengan menganalogikan, "putus itu mememanggal, sedangkan ghosting itu mencekik sampai nafasnya berhenti".
Putus berarti menghentikan langsung hubungan pada momentum tertentu, sedangkan ghosting lebih seperti membiarkan "udara dan darahnya mengalir perlahan hingga akhirnya mematikan hubungan itu"
Bagi sebagian orang, terangnya, ghosting lebih menyakitkan daripada putus hubungan, sebab rumit pula untuk mendapatkan maaf dari pasangannya untuk menerimanya kembali.
"Kalau dia balik lagi, ya sudah itu balikan aja, sekarang dicoba lagi. Bisa dibilang mayoritas ini berakhir dalam hubungan [yang] umumnya orang-orang lakukan.," paparnya.
Konsep ghosting sebagai patokan akhir hubungan yang subjektif ini hanya bisa terjadi pada hubungan pacaran atau pendekatan saja. Ia berujar, berbeda dengan pernikahan yang memiliki legalitas yang memiliki mata hukum, sebagai tanda jarak yang pasti untuk mengakhiri hubungan.
Source | : | academia.edu,Sage Journals |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR